Beribadah kepada Allah semata
Ibadah adalah kata nan sakral dan diagungkan manusia. Sejatinya, ibadah ini merupakan akibat dari tauhid asma wa shifat dan tauhid rububiyah. Para ustadz menyebutnya dengan istilah tauhid uluhiyah alias tauhid ubudiyah. Oleh lantaran itu, seseorang nan mengenal Allah, melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya, tidaklah cukup baginya sampai dia kemudian menegakkan tauhid uluhiyah, dengan beragama hanya kepada-Nya. Karena jika dia betul-betul mengenal Rabb-Nya, maka dia bakal menaati-Nya. Sementara Dialah nan telah berfirman dalam salah satu ayat-Nya nan mulia,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَا لْاِ نْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan hantu dan manusia selain untuk beragama kepadaku semata”. [1]
Dan ketahuilah, tidaklah ibadah itu sampai kepada-Nya, selain Anda penuhi dua syarat, seperti nan disimpulkan oleh para ulama:
Pertama: Ikhlas lantaran Allah Ta’ala. [2]
Kedua: Ittiba’ dengan mengikuti hukum nan dituntunkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. [3]
Dan inilah akibat dari dua kalimat syahadat nan Anda ucapkan. Bahwasanya Anda bersaksi hanya Allah sajalah sesembahan nan berkuasa untuk Anda sembah, dan Muhammad adalah utusan-Nya nan kudu Anda ikuti, taati, dan tetapi petunjuk dan sunah-sunah nan dibawanya.
Maka, seorang hamba nan sekadar beribadah, namun di saat berbarengan dia beragama kepada sesembahan lain selain Allah, seperti bermohon kepada wali, Nabi, alias malaikat, alias dia beragama lantaran mau mendapatkan pujian manusia, maka dia telah merusak syarat nan pertama. Begitu juga, jika dia sekadar beribadah, namun menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan melakukan perkara-perkara baru dalam kepercayaan nan tidak diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lantaran mengedepankan hawa nafsu serta perkataan ustadz alias pembimbing nan dia muliakan, maka ibadahnya tertolak dengan rusaknya syarat nan kedua. Allah Ta’ala berfirman tentang mereka,
وَقَدِمْنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَٰهُ هَبَآءً مَّنثُورًا
“Dan kami hadapkan segala kebaikan nan mereka kerjakan, lampau kami jadikan kebaikan itu (seperti) debu nan berterbangan.” [4]
Maka, perhatikanlah dua perihal ini. Jika dia cacat, maka sia-sialah ibadah Anda. Sia-sialah tujuan pembuatan Anda. Namun, seperti apa realisasi ibadah ini? Apakah dia melulu tentang salat, zakat, puasa, zikir, dan melakukan wirid lainnya? Ternyata tidak! Maka, untuk memahaminya, simaklah tujuan ketiga dari pembuatan Anda, ialah untuk diuji oleh Allah Ta’ala.
Baca juga: Dua Syarat Diterimanya Ibadah
Diuji oleh Allah Ta’ala
Sebuah ujian di sekolah alias di universitas diadakan, di antaranya untuk mengukur keahlian pelajar alias mengevaluasi hasil belajar mereka selama menuntut ilmu. Bahkan, ada di antara ujian itu nan bermaksud untuk menyeleksi siswa, apakah patut untuk diberikan tanda kelulusan ataukah tidak. Bagaimana dengan ujian Allah terhadap manusia? Allah Ta’ala berfirman,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“(Dialah Allah) Yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji kalian, siapa di antara kalian nan lebih baik amalannya.” [5]
Di dalam ayat nan agung ini, Allah Ta’ala menegaskan bahwa di antara tujuan pembuatan manusia, nan Dia hidupkan kemudian matikan, adalah untuk menguji mereka, siapakah di antara anak Adam tersebut nan mewujudkan ibadah terbaiknya kepada Allah Ta’ala. Maka, pertanyaan berikutnya adalah seperti apakah corak ujian nan Allah berikan kepada umat manusia. Apakah dia seperti nan dibayangkan oleh sebagian orang, bahwa ujian itu semata-mata tentang kesempitan hidup, musibah, dan penderitaan nan menyapa mereka. Jika kita menghimpun seluruh dalil-dalil dan perkataan ulama, maka dapat disimpulkan bahwa ujian itu ada dua pasang alias empat macam: ialah perintah dan larangan [6], lampau nikmat dan musibah [7].
Ketahuilah, bahwa ketika keempat ujian tersebut Anda penuhi sesuai dengan nan Allah kehendaki, maka dia bakal berbobot ibadah di sisi Allah Ta’ala, dan dijanjikan dengan ganjaran pahala serta kebahagiaan hidup. Sebaliknya, jika Anda menyia-nyiakan apa nan dikehendaki dari ujian tersebut, maka Anda bakal mendapatkan dosa dan terancam dengan siksa dan penderitaan.
Perintah
Allah telah memerintahkan beragam perkara, baik nan berkarakter ukhrawi maupun duniawi nan jika dilaksanakan bisa berbobot ibadah di sisi Allah Ta’ala. Menegakkan salat lima waktu, menunaikan zakat, berpuasa, berhaji bagi nan mampu, berzikir, berkhidmat kepada orang tua, menafkahi keluarga, menjenguk tetangga nan sakit, mengurus jenazah kaum muslimin. Semua ini adalah amalan-amalan nan diperintahkan oleh Allah Ta’ala nan jika dilaksanakan bakal berbobot ibadah di sisinya, dan bisa berbobot dosa ketika ditinggalkan, tentunya jika dia norma asalnya wajib untuk dikerjakan.
Larangan
Saat manusia diuji dengan memerintahkan mereka melakukan ibadah tertentu, mereka juga di saat berbarengan dilarang dari perkara-perkara tertentu, nan pada dasarnya adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri, baik diketahui secara jelas keburukan dan bahayanya alias tidak. Maka, di antaranya Allah melarang mengkonsumsi minuman nan memabukkan serta makanan tertentu seperti bangkai, daging babi dan darah, melarang transaksi ribawi, melarang mendengarkan perangkat musik, dan melarang mendekati zina. Kerusakan nan diakibatkan perkara-perkara ini tentu bisa diketahui dan diakui oleh orang-orang nan mempunyai logika nan jernih. Seseorang nan meninggalkan seluruh larangan ini lantaran Allah bakal terhitung melakukan ibadah di sisi-Nya dan patut mendapat ganjaran berupa pahala dan janji berupa surga Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Baca juga: Untukmu nan Sedang Malas Beribadah
Nikmat
Setiap detik nikmat datang dari Allah kepada setiap hamba, tanpa terkecuali kepada Anda. Bahkan, nikmat ini mengalir terus menerus dari seseorang lahir hingga dia mati. Nikmat mata nan bisa memandang barang dekat dan jauh. Nikmat telinga nan bisa mendengar bisikan maupun teriakan. Nikmat jantung nan berdegup normal nan stabil demi memompa darah ke seluruh tubuh. Nikmat paru nan kembang kempis menarik dan membuang udara. Nikmat ginjal nan bekerja keras menyaring darah dan menghasilkan urin. Nikmat hati nan memproduksi cairan empedu sekaligus menawarkan racun. Nikmat 206 tulang dan 360 persendian nan memungkinkan Anda bisa bergerak dan berakitivas tanpa hambatan. Bahkan, nikmat trilyunan sel normal nan sampai saat ini jumlah pastinya tetap jadi perdebatan ilmiah.
Semuanya patut Anda syukuri setiap bagiannya. Dan nikmat ini adalah salah salah satu corak ujian Allah nan paling lembut bagi seorang hamba. Anda hanya bakal dianggap lulus dari ujian ini ketika Anda mensyukuri nikmat-nikmat tersebut. Dan jika Anda melakukannya, dia bakal terhitung sebagai corak ibadah kepada Allah Ta’ala, sekaligus Allah bakal tambahkan nikmat nan lain. Namun ketahuilah, sampai kapanpun, Anda tidak bakal sanggup melakukannya. Karena saking banyaknya nikmat nan ada pada Anda, sementara Anda tetap butuh nikmat nan satu untuk mensyukuri nikmat nan lainnya. Maka, tidak ada habisnya perputaran nikmat tersebut. Sedangkan manusia lebih banyak lalai dan kufur terhadap nikmat nan Allah berikan pada mereka. Padahal syukur nikmat itu wajib. Sehingga nan lupa bersyukur, bakal berdosa atas kelengahannya.
Musibah
Jika nikmat berbobot ibadah ketika disyukuri, gimana dengan musibah nan menimpa Anda? Maka, tentunya dia bakal berbobot ibadah tatkala Anda sabar menghadapi musibah nan datang. Namun, patut Anda renungkan, sebanyak apapun bala nan menimpa Anda, seberat apapun musibah nan melanda diri Anda, tidaklah dia sebanding dengan nikmat nan mengalir dalam hidup Anda. Karena musibah itu datangnya hanya sekali-kali. Sementara nikmat datangnya setiap saat. Jika musibah nan datang membikin badan alias hati menjadi sakit, maka tidak lama berselang, Allah bakal hilangkan sakit nan ada di tubuh alias di hati Anda, sampai-sampai Anda mungkin lupa pernah mendapat ujian tersebut. Maka lupa ini, menjadi nikmat tersendiri bagi Anda.
Oleh lantaran itu, atas ujian berupa musibah, wajib bagi seorang hamba untuk bersabar dengannya. Bagi mereka nan bersabar, Allah bakal ganjar pahala, kelapangan, kenyamanan, kelegaan, kesejukan, ketenteraman, ketenangan, serta kebahagiaan setelahnya. Sebaliknya bagi mereka nan tidak bisa bersabar, maka dia bakal berbobot dosa dan Allah bakal tambahkan musibah itu dengan semakin sempitnya hati, sehingga dia bakal semakin merana, semakin menderita, semakin sengsara, dan semakin sedih lantaran musibah tersebut sekaligus akibat dosa atas kelalaiannya dari bersabar.
Meskipun demikian, berbarengan dengan sifat hamba nan lemah dan seringkali lengah, Rabb mereka adalah Zat nan penuh dengan ampunan, apalagi Dia ‘Azza Wa Jalla menanti tobat hamba-hamba-Nya. Sehingga seorang hamba nan melanggar sebagian dari ujian tersebut dan terjatuh kepada dosa, kemudian dia segera bertobat, maka Allah bakal ampuni dosa hamba tersebut dan menggantinya jadi kebaikan, apalagi meskipun dosanya sepenuh bumi. [8] Dialah Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.
Maka, inilah makna ibadah nan sesungguhnya. Seperti nan diutarakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
” الْعِبَادَةُ ” هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ وَيَرْضَاهُ :مِنْ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ
“Ibadah adalah julukan nan mencakup semua perihal nan dicintai dan diridai oleh Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, nan tersembunyi maupun nan tampak.” [9]
Oleh lantaran itu, seseorang nan mempunyai pengetahuan bakal perkara ini, bisa menjadikan setiap perihal dalam kesehariannya sebagai ibadah. Dari bangun tidur hingga tidur kembali. Dari makan, bekerja, hingga buang air, semuanya bakal berbobot ibadah. Dari mendapat nikmat hingga tertimpa sakit semuanya bisa dia transformasi menjadi pahala akhirat. Demikianlah kehidupan seorang hamba nan berilmu dan diberi taufik oleh Allah Ta’ala. Ia menjadikan setiap waktu, tempat, aktivitas, dan kondisi sebagai corak ibadah dan penghambaan diri kepada Rabb-nya.
[Bersambung]
Kembali ke bagian 2 Bagian 4 Bersambung, Insyaallah
***
Disarikan pada malam 20 Ramadan 1444 H
Di bawah langit kota Yogyakarta,
Oleh Al-Faqir nan memerlukan rahmat dan pembebasan dari Rabb-Nya
Penulis: Sudarmono Ahmad Tahir, S.Si., M.Biotech.
Artikel: Muslim.or.id
Catatan Kaki:
Untuk terjemahan Al-Qur’an dan hadis, sebagiannya berasas referensi dan tulisan nan ada di website Muslim.or.id, Muslimah.or.id, Rumaysho.com, dan Almanhaj.or.id
[1] QS. Az-Zariyat ayat 56.
[2] QS. Al-Kahfi ayat 110. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya saya ini hanyalah manusia biasa seperti engkau, nan diwahyukan kepadaku, ‘Bahwa sesungguhnya sesembahan engkau hanyalah satu saja.” Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah dia mengerjakan kebaikan nan saleh dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beragama kepada Rabbnya.“
[3] HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa membikin suatu perkara baru dalam kepercayaan kami ini nan tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”
[4] QS. Al-Furqan ayat 23.
[5] QS. Al-Mulk ayat 2.
[6] QS. Al-Insan ayat 2-3. “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani nan bercampur nan Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), lantaran itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sungguh, Kami telah menunjukkan kepadanya jalan nan lurus. Ada nan berterima kasih dan ada pula nan kufur.”
Ketika menafsirkan ayat ini, sebagian ustadz menjelaskan bahwa ujian nan ada di ayat ini berupa perintah dan larangan, serta kewajiban-kewajiban nan kudu dilaksanakan oleh hamba.
[7] QS. Al-Anbiya ayat 35. Allah Ta’ala berfirman, “Kami bakal menguji Anda dengan keburukan dan kebaikan sebagai ujian (yang sebenar-benarnya) dan hanya kepada Kamilah Anda dikembalikan.”
Dalam ayat ini, sebagian ulama, di antaranya Ibnu Katsir, menafsirkan keburukan dan kebaikan berupa musibah dan nikmat nan didatangkan kepada hamba.
[8] HR. At-Tirmidzi nomor 3540. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Wahai anak Adam! Sesungguhnya selama engkau bermohon dan berambisi hanya kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni dosa-dosa nan telah engkau lakukan dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam! Seandainya dosa-dosamu setinggi langit, kemudian engkau minta pembebasan kepada-Ku, niscaya Aku mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam! Jika engkau datang kepadaku dengan membawa dosa-dosa nan nyaris memenuhi bumi kemudian engkau berjumpa dengan-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun, niscaya Aku datang kepadamu dengan memberikan pembebasan sepenuh bumi itu pula.”
[9] Majmu’ah Al-Fatawa, 10: 149.