Eramuslim.com – Mata bumi pada tahun 1955 tertuju pada perhelatan Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Saat itu, Presiden Soekarno menyampaikan sebuah pidato nan menarik di hadapan semua delegasi dan media internasional nan hadir. Menurut Soekarno, tidak ada artinya kemerdekaan Indonesia jika negara-negara Asia dan Afrika tetap terjajah.
“Tidak ada tugas nan lebih urgent daripada memelihara perdamaian. Tanpa perdamaian, kemerdekaan kita tak banyak faedahnya,” ucap Bung Karno nan tertuang dalam kitab Pancasila dan Perdamaian: Sebuah Kumpulan Pidato (Haji Masagung, Jakarta: 1989).
Soekarno menegaskan bumi tidak boleh lupa bahwa kolonialisme tetap bercokol di Asia dan Afrika. Negara-negara lainnya nan sudah merdeka tidak boleh menutup mata atas situasi ini. Mereka kudu tolong-menolong membantu bangsa Asia dan Afrika nan tetap dicengkeram kolonialisme.
“Bagaimana kita dapat mengatakan kolonialisme telah mati, selama daerah-daerah luas di Asia dan Afrika belum lagi bebas,” terang Bung Karno nan tertuang dalam kitab Pancasila dan Perdamaian: Sebuah Kumpulan Pidato (Haji Masagung, Jakarta: 1989).
Bagi Soekarno, semangat melawan kolonialisme kudu berada di setiap sanubari bangsa Indonesia. Sebab Indonesia pernah mengalami pahitnya penjajahan. Bahkan Soekarno menyindir negara-negara alias pihak-pihak nan tuli atas penderitaan negara lain.
“Janganlah bertindak sebagai tangan kanan nan buta dari kolonialisme. Jika Tuan bertindak demikian, maka Tuan pasti bakal membunuh organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dan dengan begitu, Tuan bakal membunuh angan dari berjuta-juta manusia nan tiada terhitung,” ucap Soekarno dalam Pidato Sidang Majelis Umum PBB ke-15 pada 30 September 1960.
Tak ayal, sikap-sikap anti-penjajahan itu melatarbelakangi tindakan Soekarno memutuskan menarik diri dari kualifikasi Piala Dunia 1958 lantaran kudu menjamu ‘Israel’ di Tanah Air sendiri. Bagi Soekarno, selama Palestina tetap terjajah, di sanalah Republik Indonesia bakal berdiri melawannya.
Owen McBall dalam Football Villains (Jakarta, Bentang Pustaka: 2010) menyampaikan awal mula sikap Indonesia tersebut berasal dari hasil undian nan membawa ‘Israel’ menghadapi Turki.
Dengan sistem gugur nan dilangsungkan secara kandang dan tandang, tim nan menang bakal masuk ke babak berikutnya nan mempertemukan dua tim dari Zona Asia dan dua tim dari Zona Afrika untuk berebut satu tiket ke Swedia.
Solidaritas Turki untuk rakyat Palestina, nan negerinya dirampas oleh ‘Israel’, rupanya membikin Turki mundur dari kualifikasi. Hal ini membikin ‘Israel’ melaju ke putaran berikutnya tanpa berkeringat. Di putaran kedua ini, ‘Israel’ berjumpa dengan Indonesia, Mesir, dan Sudan. Tetapi, lagi-lagi, di babak ini tak ada satu pertandingan pun nan dilakoni ‘Israel’.
Awalnya, laga kandang dan tandang sedianya dilakukan dalam babak kualifikasi. Indonesia pun menolaknya dan meminta tempat nan netral. Namun, FIFA pun tetap dalam pendiriannya.
Indonesia, nan saat itu sangat gencar melakukan perlawanan terhadap penjajahan, enggan menuruti FIFA dan memilih mundur dari kualifikasi FIFA, meski Piala Dunia sudah berada di depan mata.
Langkah Indonesia ini kemudian disusul oleh Mesir, nan secara politik dan militer memang berbeda dengan ‘Israel’. Belakangan, Sudan pun mengambil langkah nan sama dengan Indonesia.
Indonesia juga kudu dicoret dari Komite Olimpiade Internasional (KOI) lantaran tidak mengizinkan atlet ‘Israel’ bertanding di Asian Games 1962 di Jakarta. Jauh sebelumnya media di Indonesia sudah menyuarakan penolakan terhadap atlet-atlet ‘Israel’ lantaran itu mencederai semangat anti-kolonialisme Indonesia.
Jewish Telegraphic Agency pada 10 Juli 1958 mengutip buletin Times of Indonesia nan menyerukan dikeluarkannya ‘Israel’ dari Asian Games. “To permit the Israelis to send their competitors here would bring to the breaking point our relationship with the Arab state,” tulis harian nan dipimpin Mochtar Lubis itu.
Benar saja, sebagai corak solidaritas terhadap Palestina, Kementerian Luar Negeri RI menolak memberikan visa masuk atlet ‘Israel’ untuk berlaga. Padahal saat itu Indonesia baru menjadi tuan rumah Asian Games untuk pertama kalinya. Hal ini pun mengundang protes KOI dan ‘Israel’ sehingga keanggotaan Indonesia di KOI ditangguhkan.
Merespons pencoretan dari KOI, Bung Karno tidak mundur. Ia lampau melemparkan pendapat membentuk Asian-African Games nan kemudian menjelma menjadi Ganefo. Julius Pour dalam kitab Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno, (Jakarta, Grasindo: 2004) melampirkan pernyataan Bung Karno.
“Kita kudu berani mengadakan suatu gagasan, sebuah Asian Games model baru, nan betul-betul bisa mencerminkan semangat Bandung. Ah, lebih baik malah sekaligus Asian-Afrika Games saja. Lho, kenapa tidak Asian-Africa-Latin American Games? Ah kenapa tidak sekaligus games di antara negara-negara The New Emerging Forces. Beginilah, kita kudu mengadakan sekaligus games di antara negara-negara The New Emerging Forces dan secepat mungkin dalam tahun ini 1963 juga.”
Dari sini, lahirlah pendapat untuk menyelenggarakan Games of The New Emerging Forces alias Ganefo dengan semboyan “Onward, No Retreat” yang artinya Maju Terus Pantang Mundur. Ganefo diselenggarakan pada 10-22 November 1963 di Jakarta dengan diikuti 51 negara.
Garis besar politik luar negeri Indonesia
Sikap anti-penjahan itulah nan melatarbelakangi dituangkannya garis-garis besar politik luar negeri Indonesia berasas Keputusan Dewan Pertimbangan Agung No.2/ Kpts/Sd/1/61 tanggal 19 Januari 1961.
Ada tiga garis besar dalam politik luar negeri Indonesia: 1. Mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan nasional Indonesia; 2. Mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan nasional dari seluruh bangsa di dunia; 3. Mengabdi pada perjuangan untuk memihak perdamaian dunia. (Lihat: Jajasan Kesedjahteraan Karyawan Deplu, Dua Puluh Lima Tahun Departemen Luar Negeri 1945-1970, Jakarta: 1971)
Dalam tulisannya nan berjudul Konferensi Asia-Afrika dan Masalah Timur Tengah (1978), Menteri Luar Negeri Sunario Sastrowardoyo era Soekarno menegaskan pada era 1950-an bumi tetap terus menyaksikan merajalelanya kolonialisme dan imperialisme di Timur Tengah nan menimbulkan rasa keprihatinan bangsa Indonesia dan dunia. Hal itu, kata Sunario, terjadi lantaran kaum zionis Yahudi mendeklarasikan “negara Israel” pada tahun 1948 di Palestina.
Bahkan, lanjut Sunario, ‘Israel’ melakukan ekspansi daerah nan lebih Iuas lagi, ialah ke Tepi Barat, Gaza, Sinai, hingga dataran tinggi Golan.
“Karena fakta-fakta itu, maka Indonesia dari semula belum pernah bersedia untuk mengakui ‘Israel’ sebagai negara. Masalah Yerusalem nan diduduki ‘Israel’ itu, adalah krusial pula bagi umat Islam di Indonesia dan di seluruh dunia,” ungkap Sunario.
Kemenangan bagi nan berjuang
Dalam pidatonya pada konvensi Non Blok ke-II di Kairo pada Oktober 1964, Soekarno membujuk bumi tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tetapi juga bangsa-bangsa lain nan belum bebas dari belenggu penjajahan. Sebab, itulah kepedihan nan dulu dirasakan rakyat Indonesia.
“Kita tidak boleh lupa bahwa kita berjuang untuk seluruh umat manusia. Kita sekali pun tidak boleh lupa tentang penderitaan-penderitaan nan telah silam nan dialami rakyat kita sehingga kita kehilangan pandangan tentang tujuan kita semula. Maka, perkokohlah kesetiakawanan negara-negara non-aligned! Perkuatlah kesetiakawanan segenap ‘new emerging forces’ nan berupaya untuk membangun bumi baru, nan lebih baik!” ungkap Soekarno.
Menutup pidatonya, Soekarno menyitir Surah Al-Qashash atas janji Allah nan memberikan kemenangan bagi orang-orang nan berjuang untuk menjaga keadilan dan kebebasan di muka bumi.
Karena merekalah nan bakal Allah jadikan pemimpin-pemimpin sejati dan menjadikan mereka ahli-ahli waris, nan kudu membangun dan mengembangkan kesamaan kesejahteraan umat manusia.
“Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberkahi kita dan menjadikan kita bijak dalam perjuangan untuk kesejahteraan umat manusia! Maju terus! Pantang mundur!” pekik Soekarno. (*)
Oleh: Pizaro Gozali Idrus (Pengajar HI Universitas Al-Azhar Indonesia)
[sumber: Sahabat Al-Aqsha]