Romantisme kesetiaan kakek-nenek 70 tahun di balik eksistensi roti kembang waru warisan Mataram Islam

Sedang Trending 2 bulan yang lalu
Romantisme kesetiaan kakek-nenek 70 tahun di kembali eksistensi roti kembang waru warisan Mataram Islam

foto: brilio.net/shahfara

Brilio.net - Sabtu pagi nan cerah dipadu wangi roti nan menghampiri, rasanya bikin semangat menikmati akhir pekan. Tentu rasa lapar juga muncul seketika, kan? Kondisi ini persis ketika brilio.net menyusuri sebuah jalan di Kotagede, Yogyakarta. Aroma semerbak roti seakan melambai menuntun langkah kaki menuju tempat pembuatannya.

Kami menemui Pak Bas dan Bu Gidah, pasangan kakek-nenek nan dikenal sebagai pengrajin roti kembang waru tertua di Kotagede. Usut punya usut, Pak Bas dan Bu Gidah sudah menggeluti upaya roti kembang waru sejak 1983, lho.

Eksistensi roti kembang waru tidak lepas dari perjalanan sejarah di Indonesia, terutama kerajaan Mataram Islam di Yogyakarta. Menurut cerita Pak Bas, dulu pohon kembang waru tumbuh di dekat pasar dan keraton kerajaan Mataram. Uniknya, pohon ini hanya berbunga, bukan berbuah seperti pohon lain. Walau tidak dapat dijadikan bahan bangunan, tapi kayu dari pohon kembang waru banyak dibuat jadi bakiak alias teklek. Akhirnya kembang waru jadi inspirasi corak dan filosofi dari roti kembang waru ini.

Kembang waru umumnya mempunyai 8 kelopak kembang nan juga diterapkan sebagai corak roti kembang waru. Makna di kembali jumlah kelopak kembang ini ialah seumpama "hasto broto". Dilansir dari laman budaya.jogjaprov.go.id, hasto broto berasal dari Bahasa Jawa nan berfaedah delapan laku alias watak baik nan ada di dunia. Delapan watak tersebut digambarkan sebagai komponen seperti matahari, bulan, bintang, mega (awan), tirta (air), kismo (tanah), samudra, dan maruto (angin).

Roti kembang waru pun menjadi hidangan jagoan kerabat keraton untuk disajikan pada momen acara seperti mitoni, manten, dan lainnya. Nenek moyang Pak Bas menjadi salah satu pengrajin roti kembang waru hingga diwariskan pada Pak Bas dan Bu Gidah sekarang.

"Bedanya jika dulu ada orang memerlukan roti kembang waru itu pembuatnya diboyong, dibawa. Nanti bikinnya di tempat orang punya hajat," kata laki-laki 78 tahun itu saat ditemui brilio.net beberapa waktu lalu, Sabtu (9/9).

Sementara Pak Bas dan Bu Gidah punya langkah jual beli berbeda dengan leluhurnya. Mereka memilih berdagang dari rumah saja, sehingga jika ada konsumen mau mendapatkan roti kembang waru, kudu datang ke letak secara langsung. Lokasinya di Bumen KG III/452, RT 23 RW 06, Kecamatan Kotagede, Yogyakarta.

"Ada orang ngira ini toko besar. Padahal bukan toko, saya pengrajin rumah tangga. Ini rumah tangga sendiri jadi non stop, tiap malam kami tutup pintunya. Tapi jika ada orang nan memerlukan roti, kami beri dengan baik," ucap pemilik nama komplit Basiran Basis Hargito ini.

Romantisme kesetiaan kakek-nenek 70 tahun di kembali eksistensi roti kembang waru warisan Mataram Islam

foto: brilio.net/shahfara

(brl/tin)

Selengkapnya
Sumber Briliofood.net
Briliofood.net
Atas