Bismillah.
Mahasiswa mempunyai potensi nan besar dalam membangun kemajuan suatu negara. Kita menyadari bahwa mahasiswa dan kaum muda secara umum adalah golongan masyarakat nan menjadi angan untuk meneruskan perjuangan para pendahulu mereka.
Karena begitu besar kedudukan dan peranan anak muda inilah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampai menyebut golongan pemuda nan alim kepada Allah dalam jejeran manusia spesial nan mendapatkan keistimewaan dari Allah. Sebagaimana disebutkan dalam sabda mengenai 7 golongan nan mendapatkan naungan Allah pada hari hariakhir pada saat tiada naungan selain naungan dari-Nya. Dan salah satunya adalah, “Seorang pemuda nan tumbuh dalam ketaatan beragama kepada Rabbnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di dalam Al-Qur’an Allah juga mengisahkan sosok perjuangan anak muda nan disebut sebagai ashabulkahfi. Mereka adalah para pemuda nan beragama kepada Allah. Orang-orang nan berkeinginan kuat dan berakidah tauhid sehingga tidak mau sedikit pun menujukan ibadah kepada selain Allah. Allah berfirman,
فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَٰهًا
“Maka mereka pun berkata, ‘Rabb kami adalah Rabb nan menguasai langit dan bumi, kami tidak bakal menyeru/beribadah kepada ilah/sesembahan apa pun selain-Nya.”’ (QS. Al-Kahfi: 14)
Sementara tauhid merupakan karena utama datangnya keamanan dan hidayah dari Allah. Karena kezaliman berupa syirik menjadi penghambat datangnya keberkahan dan penghalang taufik. Allah berfirman,
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Orang-orang nan beragama dan tidak mencampuri imannya dengan kezalimam (syirik), mereka itulah orang nan diberi keamanan, dan mereka itulah golongan orang nan bakal selalu diberi petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82)
Untuk itulah dibutuhkan dakwah tauhid bagi mahasiswa guna membimbing mereka dalam membangun kepercayaan dan ibadah kepada Rabbnya. Karena kelak di alambaka mereka juga bakal ditanya tentang masa mudanya, untuk apa mereka manfaatkan. Tauhid menjadi materi pokok dalam kurikulum pelajaran kaum muslimin sejak permulaan dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di Makkah hingga akhir hayatnya. Inilah kunci perbaikan umat nan senantiasa diserukan oleh para nabi dan rasul kepada umat di sepanjang masa.
Allah berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul nan menyerukan, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah taght.’” (QS. An-Nahl: 36)
Baca juga: Menjadi Mahasantri, Mahasiswa Plus Santri
Bangsa nan besar adalah mereka nan membesarkan Rabbnya. Mereka nan menyadari bahwa kemerdekaan dan kenikmatan nan mereka rasakan semuanya datang dari Allah, bukan semata-mata hasil jerih payah dan kerja keras alias perjuangan mereka. Kemerdekaan itu diperoleh murni dengan berkah rahmat Allah Rabb penguasa langit dan bumi atas masyarakat negeri ini. Kalau bukan dengan pertolongan dari Allah, maka kita tidak bakal bisa mengusir para penjajah!
Bangsa nan besar bukanlah semata-mata dengan kekuatan militer alias ekonomi dan kemajuan materi. Betapa banyak negeri nan hancur akibat rusaknya moral dan runtuhnya adab para penduduknya. Lihatlah umat-umat terdahulu nan Allah binasakan dan turunkan untuk mereka balasan dari langit. Mereka adalah kaum-kaum nan durjana dan durhaka kepada Rabbnya. Walaupun secara kekuatan pasukan, persenjataan, dan materi mereka tergolong negara adidaya.
Inilah kekuatan mental dan semangat ketaatan nan perlu selalu ditanamkan pada diri mahasiswa muslim dan generasi muda angan bangsa. Karena negeri ini tegak di atas pondasi Ketuhanan Yang Maha Esa. Negeri nan mencita-citakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bagaimana bisa umat Islam mendambakan keadilan untuk masyarakat, sementara mereka justru menyuburkan syirik dan penghambaan kepada selain Allah nan itu merupakan corak kezaliman nan paling besar?!
Inilah nasihat ayah teladan berjulukan Luqman kepada anaknya. Allah berfirman,
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Ingatlah ketika Luqman berbicara kepada anaknya dalam keadaan sedang memberikan nasihat untuknya, ‘Wahai putraku, janganlah Anda mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik betul-betul sebuah kezaliman nan sangat besar.’” (QS. Luqman : 13)
Kemerdekaan ini jelas merupakan nikmat dari Allah nan wajib untuk kita syukuri. Dan syukur merupakan bagian dari aliran tauhid nan sangat mulia. Sebagaimana bangsa nan besar adalah nan tidak melupakan jasa para pahlawan dan pendahulunya, maka tidaklah disebut bangsa nan besar andaikan tidak berterima kasih kepada Allah nan telah mencurahkan nikmat untuk mereka.
Syekh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri hafizhahullah menerangkan bahwa prinsip syukur adalah menunaikan kewenangan atas nikmat nan Allah berikan. Syukur mencakup tiga aspek. Dengan hati, dia mengakui bahwa nikmat itu datang dari Allah. Dengan lisan, dia menceritakan nikmat nan Allah berikan dan menyandarkan nikmat itu kepada-Nya. Dan dengan personil badan, dia gunakan nikmat itu dalam hal-hal nan mendatangkan keridaan Allah. Dengan demikian, syukur itu mencakup segala corak kebaikan ketaatan. (lihat Syarh Mutun Al-‘Aqidah, hal. 220)
Apabila diperjelas lagi, prinsip syukur dengan personil badan adalah menggunakan nikmat nan Allah berikan dalam rangka ketaatan kepada-Nya baik berupa ucapan maupun perbuatan. Sebagaimana firman Allah,
اِعْمَلُوْٓا اٰلَ دَاوٗدَ شُكْرًا
“Lakukanlah kebaikan wahai family Dawud, sebagai corak syukur.” (QS. Saba’ : 13)
(lihat Al-Lubab fi At-Tafsir oleh Syekh Sulaiman Al-Lahim, hal. 217)
Orang nan betul-betul beragama kepada Allah adalah nan berterima kasih kepada-Nya. Allah berfirman,
وَاشْكُرُوْا لِلّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ
“Dan bersyukurlah kepada Allah jika kalian betul-betul beragama hanya kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 172)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Sesungguhnya nan beragama kepada-Nya adalah nan berterima kasih kepada-Nya. Barangsiapa nan tidak berterima kasih kepada-Nya berfaedah dia bukan termasuk golongan orang nan beragama kepada-Nya.” (lihat ‘Uddatu Ash-Shabirin, hal. 222)
Suatu ketika, Muhammad bin Al-Munkadir rahimahullah melewati seorang pemuda nan sedang melirik (menggoda) seorang wanita dengan kedipan matanya, maka beliau pun berbicara kepadanya, “Wahai anak muda, bukan seperti ini caranya membalas nikmat nan Allah berikan kepadamu.” (lihat ‘Uddatu Ash-Shabirin, hal. 246)
Apabila kaum mahasiswa dan generasi muda telah dibina untuk berterima kasih kepada Allah, alim kepada patokan dan perintah-Nya, maka itu menjadi pertanda kemajuan dan kemuliaan sebuah negara. Adapun andaikan anak muda diajari untuk berfoya-foya dan melalaikan norma agama, maka itu menjadi pertanda kemunduran dan hancurnya sebuah bangsa. Wallahul musta’aan.
Baca juga: Tugas dan Peran Pemuda Muslim terhadap Diri, Agama, dan Masyarakat
***
Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.
Artikel: Muslim.or.id