by M Rizal Fadillah
Aksi Gerakan Nasional Pembela Rakyat (GNPR) di depan Mabes Polri Jl Trunojoyo Jakarta menuntut dua perihal ialah tangkap Fadil Imran dan usut tuntas kasus Km 50.Tuntutan untuk menangkap Fadil Imran lantaran sebagai Kapolda Metro Jaya saat itu dia diduga kuat terlibat dan bertanggung jawab atas pembantaian 6 personil laskar FPI. Kini Fadil Imran menjabat sebagai Kabaharkam Polri.
Adapun tuntutan kedua ialah penuntasan pengusutan kasus Km 50 lantaran bahwa menurut GNPF dan umat Islam pada umumnya kasus Km 50 itu belum tuntas. Ada orang alias pihak lain nan layak menjadi tersangka bakal tetapi hingga sekarang tetap disembunyikan alias belum terungkap.
Ada pihak nan menyatakan bahwa mengingat dua terdakwa telah mendapatkan vonis inkracht maka kasus Km 50 kudu dinyatakan sudah selesai. Aksi di depan Mabes Polri dianggap tidak menghormati Putusan Pengadilan. Pihak nan berpandangan demikian antara lain M Hassan nan menamakan dirinya aktivis Gerakan Umat Islam Kafah.
Pandangan tersebut tidak betul lantaran bagi ormas dan aktivitas Islam nan tergabung dalam GNPR serta umat Islam pada umumnya proses peradilan terdahulu itu tidak akuntabel, obyektif dan jujur. Sebaliknya menjadi peradilan rekayasa, peradilan lawakan alias peradilan sesat (rechterlijke dwaling). Peradilan nan mencoreng dan memalukan bumi hukum.
Dua petugas kepolisian nan diproses norma ialah Fikri Ramdani dan Yusmin Ohorella adalah terdakwa nan sejak awal “dimanjakan”, berstatus sebagai “peran pengganti” dan akhirnya “dilepaskan”. Pembunuhan dan pembantaian nan diskenariokan agar berujung “happy ending”.
Proses peradilan belum selesai. Kapolri sendiri Jenderal Listyo Sigit membuka pintu periksa ulang jika ada novum dan novum itu rupanya ada apalagi lebih dari dua. Belum selesainya proses norma ini juga menyangkut rekomendasi Komnas HAM nan belum dijalankan oleh penyidik. Masih terhutang alias menggantung.
Tanpa menunggu novum, interogator dapat dan kudu menuntaskan tugasnya untuk menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM ialah :
Pertama, menyediki kepemilikan dua pistol alias senjata api nan ditunjukkan oleh Kapolda Metro Jaya Fadil Imran saat konperensi pers 7 Desember 2020. Realisasi petunjuk Komnas HAM ini bakal menentukan terjadinya obstruction of justice alias tidak. Benarkah senjata itu milik 6 personil Laskar ?
Kedua, rekomendasi krusial Komnas HAM nan belum dikerjakan interogator adalah menyelidiki penumpang dua mobil “misterius” Avanza hitam B 1739 PWQ dan Avanza silver B 1278 KJD. Ini sangat krusial mengingat penumpang kedua mobil tersebut diduga “sangat terlibat”. Komnas HAM merekomendasi adanya penindakan norma untuk mereka.
Mengingat sebagaimana diakui oleh pihak Kepolisian bahwa kedua mobil “misterius” tersebut bukan mobil Polisi, maka Kepolisian sesungguhnya tidak mempunyai beban psikologis untuk melakukan penegakan norma atas penumpang kedua mobil tersebut. Masyarakat menduga kuat sebenarnya Polisi mengetahui siapa penumpang kedua mobil krusial itu.
Ketika Mahkamah Agung menolak Kasasi JPU untuk kasus Briptu Fikri Ramdhani dan Ipda Yusmin Ohorella, maka saat itu juga Komnas HAM telah meminta agar Polri menyelesaikan rekomendasi Komnas HAM.
Komnas HAM memandang kasus Km 50 belum selesai.
Satu perihal nan juga kudu diusut segera adalah siapa nan menyiksa dan membunuh dua korban nan dibawa dalam mobil terpisah, siapa petugas nan mengawal serta dibawa kemana ? Proses peradilan terdahulu hanya terfokus pada pembunuhan empat korban. “Komandan” nan mengatur pemisahan kendaraan pengangkut korban pun belum terungkap. Sang komandan itu adalah penumpang mobil Land Cruiser hitam nan juga terkesan “disembunyikan”.
Aksi 17 Mei di depan Mabes Polri kemarin sudah tepat jika di samping tuntutan untuk menangkap mantan Kapolda Metro Jaya Fadil Imran, juga agar kepolisian melakukan pengusutan tuntas atas peristiwa Km 50.
Kasus Km 50 itu belum selesai. Belum selesai, pak.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 18 Mei 2023