eramuslim.com – Presiden Joko Widodo blunder lagi, setelah membantah pernyataan pengamat ekonomi Faisal Basri, nan mengatakan hilirisasi nikel hanya menguntungkan China. Bantahan itu, menunjukan Presiden Jokowi tidak mendapat info nan valid.
Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, mengatakan, semestinya dalam menanggapi pernyataan itu Presiden Jokowi bicara berasas data.
“Harusnya menteri terkait membekali data-data nan jeli kepada Presiden Jokowi, sehingga apa nan disampaikan tepat dan akurat. Menurut saya, presiden blunder lagi,”” ujar Mulyanto dalam keterangannya, Senin (14/8).
Mulyanto prihatin, berasas jawaban nan disampaikan rupanya presiden tidak dapat membedakan antara pendapatan devisa dari ekspor nikel nan sebesar Rp510 triliun dengan penerimaan negara dari komoditas nikel.
“Ini kan dua perihal nan berbeda. Devisa masuk kepada investor, sementara penerimaan negara masuk dari pajak baik pph badan, ppn maupun bea ekspor, dll,” jelas Mulyanto.
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI ini menilai, informasi nan disampaikan Faisal Basri lebih masuk logika dibandingkan dengan pernyataan Jokowi. Sebab industri smelter menikmati tax holiday dan bebas bea ekspor. Sehingga, mini nilai penerimaan negara dari pajak sektor ini.
“Selain itu juga soal penerimaan negara bukan pajak (PNBP), Presiden menjelaskan, bahwa industri smelter membayar PNBP. Padahal sama sekali tidak,” katanya.
“Negara mendapat PNBP dari pertambangan nikel, bukan dari industri smelter. Sehingga tidak ada kontribusi PNBP dari industri smelter,” pungkasnya.
Presiden Jokowi merespons tudingan ahli ekonomi senior UI Faisal Basri soal hilirisasi nikel nan dilakukan pemerintah Indonesia selama ini justru menguntungkan China.
Menurut Jokowi tuduhan itu tidak betul dan mempertanyakan metode nan digunakan Faisal Basri dalam menyatakan China dan negara lain diuntungkan dari kebijakan hilirisasi itu. (Sumber: RMOL)