Eramuslim.com – Perang Uhud terjadi pada hari Sabtu, pada bulan Syawal, tahun ketiga Hijriyah. Latar belakang perang ini terjadi adalah kemauan kaum musyrikin untuk balas dendam atas terbunuhnya pasukan mereka pada perang Badar.
Awal Perang Uhud
Ketika Abu Sufyan kembali dengan membawa kafilah dagangnya, dia berbicara di hadapan para pembesar Quraisy, “Wahai Quraisy, sesungguhnya Muhammad telah mengalahkan kalian dan membunuh pemimpin-pemimpin terbaik kalian. Bantulah saya dengan kekayaan ini untuk memeranginya!” Mereka pun menyambut rayuan tersebut sehingga terkumpul 1.000 ekor unta dan 50.000 dinar.
Mereka pun mulai menggalang pasukan untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta support kepada kabilah-kabilah nan tersebar di sekitar Makkah. Mereka berangkat meninggalkan Makkah pada hari Kamis bulan Syawal dengan kekuatan 3.000 prajurit.
Al-Abbas bin ‘Abdul Muththalib telah menulis surat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menginformasikan apa nan tengah terjadi. Surat itu disampaikan oleh seorang kurir dari kabilah Bani Ghiffar. Kemudian surat itu dibacakan oleh Ubay bin Ka’ab di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun meminta merahasiakannya.
Akhirnya, buletin kehadiran tentara Quraisy pun tersebar di masyarakat dan membikin takut orang-orang Yahudi dan munafik. Apalagi ketika pasukan musyrikin sudah tiba mendekati Madinah membikin suku Aus dan Khazraj berhati-hati sembari membawa senjata di seputar Masjid Nabawi dekat dengan rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, cemas bakal adanya serangan mendadak.
Pada malam Jumat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi dan keesokan paginya, beliau ceritakan di hadapan para sahabatnya seraya berkata, “Demi Allah! Sungguh semalam saya bermimpi baik. Aku bermimpi ada beberapa ekor sapi nan disembelih, pedangku sumbing dan saya memasukkan tanganku ke dalam baju perangku. Adapun sapi nan disembelih adalah terbunuhnya beberapa orang dari sahabatku. Selain itu, sumbingnya pedangku adalah tanda terbunuhnya seorang dari personil keluargaku.”
Dari Abu Musa Al-Asy’ary, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Aku bermimpi mengayunkan pedang lampau patah, rupanya itu adalah isyarat kekalahan nan menimpa kaum mukminin dalam perang Uhud. Kemudian akun ayunkan kembali, maka pedang itu pun menjadi tampak lebih bagus dari sebelumnya, rupanya itu adalah pertolongan Allah dan bersatunya kaum mukminin. Aku juga bermimpi memandang beberapa ekor sapi, demi Allah sangat baik dan rupanya mereka adalah kaum mukminin nan terbunuh dalam perang Uhud.” (HR. Bukhari, no. 4081)
Kemudian beliau pun berembuk dengan para sahabatnya dan berkata, “Bagaimana menurut kalian apakah lebih baik menetap di Madinah dan kita tempatkan kaum wanita dan anak-anak di Al-Athom. Apabila mereka (musuh) tetap bertahan, maka memperkuat dalam suasana buruk. Jika mereka masuk Madinah menyerang, kita perangi mereka melalui lorong-lorong jalan nan kita kuasai dan kita serang dengan panah dari atap-atap rumah.”
Pendapat ini didukung oleh para tokoh Muhajirin dan Anshar serta pendapat dari ‘Abdullah bin Ubay.
Sedangkan sebagian besar anak-anak muda nan tidak ikut dalam perang Badar dan pemuda nan mencari syahid menginginkan untuk berhadapan dengan musuh. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, marilah kita hadapi musuh kita agar mereka tidak menganggap kita pengecut.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai sikap mereka nan meminta terus menerus. Ketika mereka bersikeras dengan keinginannya itu, beliau pun memimpin mereka dalam shalat Jumat, menasihati, dan memerintahkan mereka untuk serius dan bersungguh-sungguh. Mereka pun senang untuk menghadapi musuh, sementara nan lainnya tidak menyukainya.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin mereka untuk shalat Ashar, sementara mereka telah bersiap siaga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam rumahnya. Pada saat itu datanglah dua sahabat nan berjulukan Sa’ad bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair seraya berkata, “Kalian telah memaksa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kembalikanlah keputusannya kepada beliau!” Tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam muncul dengan busana perangnya dan sebilah pedang nan terhunus dan tutup kepala baja. Mereka pun menyesal atas sikap mereka selama ini seraya berkata, “Kami tidak mau menentangmu, ambillah keputusan sesuai kehendakmu, wahai Rasulullah.” Kemudian beliau menjawab, “Tidak layak bagi seorang Nabi nan telah mengenakan topi bajanya untuk melepas kembali sampai Allah memutuskan antara dirinya dengan musuhnya.”
Kemudian berangkatlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kekuatan kurang lebih 1.000 pasukan. Ketika mereka sampai di daerah Syauth (tempat antara Madinah dan Uhud), ‘Abdullah bin Ubay beserta 300 pengikutnya menarik diri sembari berkata, “Dia (Muhammad) telah mengikuti kemauan mereka (sahabat) dan mengabaikan aku. Untuk apa kita membunuh diri kita sendiri wahai teman-teman?” Maka dia pun kembali berbareng pengikutnya dari kalangan munafik dan orang-orang nan ragu.
Di tengah perjalanan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan inspeksi pasukan, rupanya terdapat beberapa anak mini nan belum mempunyai keahlian untuk berperang, hanya semangat saja dan kemauan untuk menjadi syuhada. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak keikutsertaan mereka lantaran tetap kecil. Di antara mereka nan ditolak adalah Samurah bin Jundab dan Rafi’ bin Khudaij. Usia mereka kala itu baru 15 tahun. Kemudian dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, Rafi’ itu memiliki keahlian memanah.” Kemudian beliau pun mengizinkannya. Selain itu, dikatakan kepada beliau, “Samurah dapat mengalahkan Rafi’.” Maka beliau pun mengizinkan Samurah untuk ikut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melanjutkan perjalanannya, seraya berkata, “Siapakah orang nan dapat mengantarkan kami ke pihak musuh lebih dekat lagi?” Abu Khaitsamah berkata, “Saya wahai Rasulullah.” Kemudian dia pun membujuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melintasi bukit Bani Haritsah dan perkebunan mereka. Ketika melintasi kebun milik Murabba’ bin Qaizhi seorang munafik nan buta matanya (dharirul bashor), ketika dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya bakal melintasi kebunnya dia pun melemparkan segenggam tanah ke arah para sahabat sembari berkata, “Jika Anda adalah Rasulullah, akut tidak menghalalkan masuk ke kebunku.” Sahabat pun mengepung untuk membunuhnya, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencegah mereka dan bersabda, “Janganlah kalian membunuhnya, sesungguhnya orang ini buta hatinya, juga buta penglihatannya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melanjutkan perjalanan hingga sampai di sebuah lembah di Uhud dengan posisi membelakangi gunung Uhud dan melarang sahabat untuk bertempur hingga ada intruksi.
Mulailah Perang Uhud
Sabtu pagi, beliau telah siap untuk bertempur berbareng 700 sahabat. Beliau menugaskan para pemanah nan berjumlah 50 orang di bawah komando ‘Abdullah bin Jubair untuk tetap dalam posisinya, tidak meninggalkan posnya sekalipun dia memandang pasukannya disambar burung. Posisi pemanah ini berada di belakang pasukan utama dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka mengusir kaum musyrikin dengan hujan panah agar tidak menyerang kaum muslimin dari arah belakang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tampil dengan dua baju perangnya, sementara kaum musyrikin tengah menyiapkan pasukannya. Mereka mempunyai pasukan kavaleri (pasukan berkuda) dengan 200 ekor kuda. Sayap kanannya dipimpin oleh Khalid bin Walid dan sayap kirinya dipimpin oleh ‘Ikrimah bin Abu Jahal.
Perang diawali dengan pertarungan satu musuh satu. Thalhah bin Abi Thalhah salah satu pemegang panji orang kafir menantang untuk bertanding. Ajakan ini pun disambut oleh Zubair dengan langsung menerjangnya saat musuh berada di atas untanya hingga jatuh tersungkur lampau ditebaslah batang lehernya dengan pedangnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkomentar,
إِنَّ لِكُلِّ نَبِىٍّ حَوَارِيًّا ، وَحَوَارِىَّ الزُّبَيْرُ
“Setiap Nabi itu punya seorang Hawariyyun (pengikut setia). Pengikut setiaku adalah Az-Zubair.” (HR. Bukhari, no. 2846, hadits dari Jabir radhiyallahu ‘anhu)
Setelah itu perang massal pun berkecamuk, pedang saling berdentingan. Kaum musyrikin sempat berupaya sebanyak tiga kali untuk menembus pertahanan kaum muslimin, tetapi dapat digagalkan oleh pasukan pemanah sehingga mereka pun mundur. Umat Islam saat itu tengah diuji dengan kebaikan dan mereka bisa memperlihatkan kepahlawanannya sehingga membikin kaum musyrikin lemah tak berdaya.
Terbunuhnya Hamzah bin ‘Abdul Muththalib
Ali, Zubair, Thalhah, Abu Thalhah, Sa’ad bin Abi Waqqash, mereka bertempur dengan gagah berani. Begitu pula singa Allah dan Rasul-Nya, Hamzah bin ‘Abdul Muththalib. Bahkan beliau sempat membunuh beberapa pembawa panji-panji kemusyrikan dari Bani ‘Abdid Dar. Namun, tiba-tiba Wahsyi nan sejak tadi mencari kesempatan untuk membunuh Hamzah melemparkan tombaknya hingga membunuhnya.
Wahsyi menceritakan peristiwa tersebut sebagaimana nan terdapat dalam Shahih Al-Bukhari, “Sesungguhnya Hamzah telah membunuh Thu’aimah bin ‘Adi pada perang Badar. Tuanku, Jubair bin Muth’im berkata kepadaku, ‘Jika Anda sukses membunuh Hamzah nan telah membunuh pamanku, maka Anda bakal merdeka (tidak menjadi budak lagi).’ Ketika orang-orang keluar menuju Uhud untuk berperang, saya pun ikut berbareng mereka. Tatkala pasukan sudah saling berhadapan, tampillah Siba’ seraya berkata, ‘Adakah di antara kalian nan berani melakukan perang tanding?’ Maka tampillah Hamzah menghadapinya seraya berkata, ‘Hai Siba’ anak induk singa nan putus ekornya! Apakah Anda menentang Allah dan Rasul-Nya?’ Maka Hamzah pun bisa membunuhnya. Aku pun menyelinap di kembali batu untuk mendekati Hamzah dan kemudian saya pun melemparkan tombakku ke arahnya.”
Setelah peristiwa tersebut, Wahsyi masuk Islam dan ikut dalam perang Yamamah dan sukses membunuh Musailamah Al-Kadzdzab dengan tombak nan sama.
Awalnya, Kaum Muslimin Meraih Kemenangan
Malaikat juga ikut dalam perang Uhud ini. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku memandang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Uhud dikawal oleh dua orang berpakaian putih bertempur dengan gagah berani nan belum pernah saya memandang sebelumnya maupun sesudahnya.” (Fath Al-Baari, 7:358, hadits no. 4054). Ibnu Hajar mengomentari hadits ini dengan menyatakan bahwa kedua orang nan mengawal beliau adalah Jibril dan Mikail (Fath Al-Baari, 7:358)
Kemudian Allah pun memberikan kemenangan kepada kaum muslimin. Mereka menghalau kaum musyrikin dengan pedang sehingga mengakibatkan kekalahan fatal bagi kaum musyrikin. Mereka lari tunggang-langgang, sementara kaum perempuannya meneriakkan angan kesialan dan sumpah serapah. Kaum muslimin terus mendesak mereka dan sukses mengumpulkan ghanimah (rampasan perang) nan sangat banyak.
Kaum Muslimin Kemudian Kalah Karena Tak Manut Perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Sementara itu, pasukan pemanah melupakan pesan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tidak meninggalkan posisinya. Mereka berkata, “Ayo kita kumpulkan ghanimah! Teman-teman kita telah menang. Apa nan kalian tunggu lagi?” Abdullah bin Jubair berkata, “Apakah kalian lupa apa nan dipesankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kalian?” Mereka pun berkata, “Demi Allah, orang-orang pada datang untuk mengambil ghanimah.” Khalid bin Walid nan memandang pos pemanah telah ditinggalkan, maka dia pun membawa pasukan berkudanya nan diikuti oleh Ikrimah dan sukses menempati pos tersebut setelah membunuh ‘Abdullah bin Jubair dan beberapa temannya.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Dalam perang Uhud, kaum musyrikin dapat dikalahkan. Tiba-tiba Iblis la’natullah ‘alaih berteriak, ‘Hai hamba-hamba Allah kalian telah menang!’ Kemudian kaum musyrikin nan sebagian sudah lari meninggalkan medan perang kembali kembali dan bergabung.”
Dari Al-Barra’ berkata, “Hari itu kami menghadapi kaum musyrikin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah mengatur pasukan memanah dan menunjuk ‘Abdullah bin Jubair sebagai komandannya. Beliau berpesan, ‘Kalian jangan tinggalkan pos kalian sekalipun kami menang alias kalian memandang kami kalah tidak perlu kalian turun membantu kami.’”
Ketika perang berkecamuk, mereka (kaum musyrikin) lari tunggang-langgang. Aku memandang kaum perempuannya mengangkat gaunnya sehingga terlihat perhiasan nan ada pada betisnya. Kemudian pasukan pemanah berteriak ‘ghanimah!’. ‘Abdullah bin Jubair berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpesan kepada kita untuk tidak meninggalkan pos.” Namun, mereka tidak mempedulikannya sehingga terbunuhlah 70 sahabat saat perang Uhud.
Abu Sufyan sangat senang sekali seraya berkata, “Masih hidupkah Muhammad?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jangan kalian jawab.” Abu Sufyan melanjutkan, “Masih hidupkah Ibnu Quhafah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jangan kalian jawab.” Abu Sufyan melanjutkan, “Adakah di tengah kaum Umar bin Al-Khaththab?” Ia melanjutkan, “Kalau begitu mereka telah terbunuh. Seandainya mereka tetap hidup, pasti mereka bakal menjawabnya.”
Umar nan tidak bisa mengendalikan emosinya berkata, “Perkiraan Anda tidak benar, wahai musuh Allah! Semoga Allah bakal selalu menghinakanmu!”
Abu Sufyan berkata, “Hidup Hubal!”
“Jawablah!” kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sahabat berkata, “Dengan apa kami kudu menjawabnya?”
Beliau berkata, “Katakan Allah lebih tinggi dan mulia.”
Abu Sufyan berbicara lagi, “Kami mempunyai Tuhan ‘Uzza nan mulia, sementara kalian tidak mempunyai kemuliaan.”
“Jawablah!” sergah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sahabat bertanya, “Dengan apa kami menjawabnya?” Katakan, “Allah itu penolong kami, sementara kalian tidak mempunyai penolong.”
Abu Sufyan berkata, “Hari ini kami telah menebus kekalahan kami pada perang Badar dan perang bakal terus berlanjut. Kalian telah mendapatkan perlawanan nan seimbang, saya tidak memerintahkannya dan Anda pun tidak bisa mencederaiku.”
Bencana telah menimpa umat Islam, barisan mereka pun sempat kacau balau, sehingga kaum musyrikin berupaya untuk membunuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti nan dilakukan oleh Ibnu Qum’ah, tetapi dapat dihadang oleh Mush’ab dan kemudian dia pun membunuhnya lantaran menduga Mush’ab adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dikira sudah mati
Tersebarlah buletin kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menimbulkan kekacauan dan kelemahan barisan kaum muslimin. Ada di antara mereka nan lari meninggalkan kancah peperangan menuju Madinah untuk mengurus kembali rumah dan kebunnya. Ada juga nan naik ke gunung lampau membuang senjatanya. Ada juga nan tetap berjuang memihak agamanya. Anas bin Nazhar tampil di hadapan orang-orang seraya berkata, “Apa nan membikin kalian duduk-duduk saja?”
Mereka berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah terbunuh.”
Anas berkata, “Wahai kalian semua, jikalau Muhammad telah terbunuh, maka sesungguhnya Rabb Muhammad tidaklah terbunuh. Lalu apa nan bakal kalian lakukan dalam kehidupan ini sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berperanglah sebagaimana beliau bertempur dan matilah sebagaimana beliau mati.”
Lalu Anas berdoa, “Ya Allah, saya memohon kepada-Mu, dari apa nan mereka kaum muslimin katakan dan saya melepas dari apa nan dibawa oleh mereka (kaum musyrikin).” Kemudian Anas berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz, seraya berkata, “Ya, Sa’ad saya mencium aroma dari belakang Uhud.” Kemudian dia pun memasuki kancah perang nan tengah berkecamuk dan terus beperang hingga syahid.
Sedikitnya terdapat 80 lebih luka pada tubuhnya nan disebabkan sabetan pedang, tikaman tombak, dan anak panah.
Di sekitar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat beberapa sahabat Muhajirin dan Anshar yang menjadikan dirinya sebagai tameng untuk melindunginya. Mereka betul-betul gigih dalam berjuang. Hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di atas batu nan berada di atas gunung Uhud. Beliau mengalami luka nan cukup serius. Gigi beliau patah, bibir bawahnya dan keningnya robek, dua mata besi masuk melukai pipi beliau nan kemudian dicabut oleh Abu Ubaidah bin Jarrah dengan giginya hingga copot lantaran sangat dalamnya besi tersebut menancap pada wajah beliau.
Ketika kekalahan melanda disebabkan sikap membangkangnya para pemanah terhadap perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, banyak sahabat nan terbunuh nan kemudian dimutilasi oleh kaum musyrikin dengan langkah memotong hidung dan telinga para syuhada serta membelah perut mereka dengan penuh kedengkian dan dendam kesumat.
Sedikitnya ada 70 sahabat nan menjadi syuhada dan kebanyakan mereka adalah dari kalangan Anshar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengubur mereka pada letak mereka terbunuh. Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghimpun dua orang syuhada dalam satu baju (kafan) kemudian beliau berkata, “Siapa nan paling banyak hafal Al-Qur’an?” Apabila sahabat menunjuk salah satunya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasukkannya lebih dulu ke liang lahad seraya berkata, “Aku menjadi saksi mereka kelak pada hari kiamat.” (HR. Bukhari, Fath Al-Baari, 7:374, no. 4079)
Pada perang tersebut, banyak kaum muslimin nan mengalami luka. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke Madinah setelah mengubur para syuhada dan mengusir kaum musyrikin hingga Hamra Asad (gunung merah di selatan Madinah) untuk menunjukkan kekuatan umat Islam dan bahwa mereka tidak terpengaruh dengan apa nan terjadi.
Peristiwa nan dialami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dijadikan argumen untuk memaki dan mencela Abdullah bin Ubay bin Salul, kaum munafikin, dan orang-orang Yahudi. Mereka berkata, “Muhammad hanya mencari kekuasaan!” Mereka pun mengolok-olok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sembari berkata, “Seandainya nan terbunuh berbareng kami, niscaya mereka tidak bakal terbunuh.”
Tentang peristiwa Uhud ini, Allah menurunkan 60 ayat dalam surah Ali Imran, diawali dengan firman-Nya,
وَإِذْ غَدَوْتَ مِنْ أَهْلِكَ تُبَوِّئُ ٱلْمُؤْمِنِينَ مَقَٰعِدَ لِلْقِتَالِ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan (ingatlah), ketika Anda berangkat pada pagi hari dari (rumah) keluargamu bakal menempatkan para mukmin pada beberapa tempat untuk berperang. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ali Imran: 121), hingga 60 ayat berikutnya. Lihat Tafsir Ibnu Katsir.
Pelajaran nan Bisa Dipetik dari Perang Uhud
Pertama: Ketika surat Al-‘Abbas sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang rencana orang Quraisy, Rasulullah memerintahkan Ubay bin Ka’ab untuk merahasiakannya. Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya menyembunyikan sesuatu nan andaikan disebarkan beritanya bakal berakibat negatif sehingga diketahui oleh orang-orang nan tidak bertanggung jawab.
Dalam hadits dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اِسْتَعِيْنُوا عَلَى إِنْجَاحِ الحَوَائِجِ بِالكِتْمَانِ، فَإِنَّ كُلَّ ذِي نِعْمَةٍ مَحْسُوْدٌ.
“Sukseskanlah penyelesaian rencana kalian dengan menyembunyikan (hajat tersebut), lantaran setiap orang nan mempunyai nikmat pasti bakal mendapatkan sikap hasad (dari orang lain)”. (HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 5:215, 6:96. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits ini sahih sebagaimana dalam Shahih Al-Jaami’ Ash-Shaghiir dan tambahannya, 1:320, hadits no. 956)
Apabila seseorang mempunyai agenda alias informasi nan andaikan diketahui oleh orang lain bakal menimbulkan mudarat, maka sebaiknya dia merahasiakannya serta tidak menceritakannya kepada siapa pun. Karena menceritakan kepada orang lain seperti misalnya kasus surat Al-‘Abbas kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang rencana Quraisy, maka bakal dapat membikin orang Yahudi dan munafik senang dan membikin kaum muslimin menjadi sedih dan takut, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menginginkan persiapan nan matang untuk menghadapinya tanpa diketahui oleh pihak musuh bahwa beliau sudah mengetahui rencana mereka.
Kedua: Musyawarahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan para sahabat, apakah keluar Madinah untuk menyongsong musuh ataukah tetap di Madinah dan kemauan sebagian besar sahabat untuk keluar menyongsongnya dan kemudian beliau mengambil pendapat ini menunjukkan bahwa bunyi kebanyakan dapat dipertimbangkan, tetapi tidak mutlak.
Ketiga: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak layak bagi seorang Nabi nan telah mengenakan baju perangnya untuk menanggalkannya kembali sehingga Allah memutuskan antara dia dengan musuhnya.” (HR. Bukhari secara mu’allaq)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jihad kudu dilakukan andaikan telah direncanakan. Terutama andaikan busana perang sudah dikenakan dan siap untuk berangkat. Tidak boleh pulang alias kembali sampai dia berjumpa musuh dan memeranginya.” (Zaad Al-Ma’ad, 3:211)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Berdasarkan perihal ini, maka berlakulah suatu tradisi bahwa apabila sudah berencana untuk belajar dan berjihad, maka kudu dilaksanakan sebagaimana berencana untuk berhaji.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 28: 186-187)
Keempat: Persiapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertempur nan mengenakan dua baju perang secara berlapis menunjukkan disyariatkannya bertawakal dan berupaya maksimal. Tawakal itu tidak cukup hanya dengan pasrah tanpa melakukan usaha.
Kelima: Desersi (pergi dari perang tanpa permisi) nan dilakukan oleh ‘Abdullah bin Ubay dan para sahabatnya serta sikap senang mereka terhadap apa nan menimpa umat Islam bahwa mukmin sejati berbeda dengan munafik pendusta. Ketika Allah memberi kemenangan kaum muslimin dalam perang Badar dan kaum muslimin menjadi terkenal, banyak orang nan masuk Islam secara lahiriyah saja. Sementara batinnya tidak.
Sudah menjadi hikmah Allah bahwa dengan adanya ujian, maka bakal terlihat siapa nan betul-betul mukmin dan munafik. Tokoh-tokoh munafik memantau perang ini dan mereka berbincang dan menampakkan apa nan selama ini mereka sembunyikan, sehingga manusia pun terbagi menjadi tiga kelompok, ialah kafir, mukmin, dan munafik. Kaum mukmin menjadi tahu bahwa di dalam negeri mereka sendiri terdapat musuh nan selalu bersamanya sehingga mereka semakin hati-hati dan waspada. Allah berfirman,
مَّا كَانَ ٱللَّهُ لِيَذَرَ ٱلْمُؤْمِنِينَ عَلَىٰ مَآ أَنتُمْ عَلَيْهِ حَتَّىٰ يَمِيزَ ٱلْخَبِيثَ مِنَ ٱلطَّيِّبِ ۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى ٱلْغَيْبِ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَجْتَبِى مِن رُّسُلِهِۦ مَن يَشَآءُ ۖ
“Allah sekali-kali tidak bakal membiarkan orang-orang nan beragama dalam keadaan Anda sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan nan jelek (munafik) dari nan baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak bakal memperlihatkan kepada Anda hal-hal nan ghaib, bakal tetapi Allah memilih siapa nan dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya.” (QS. Ali Imran: 179)
Dalam kesusahan bakal terlihatlah dengan jelas antara kawan dan lawan. Di antara nikmat nan besar adalah mengenal dan mengetahui musuh sehingga bisa berhati-hati dan waspada dari kejahatan dan tipu dayanya.
Keenam: Dalam perjalanan ke Uhud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan inspeksi pasukan, rupanya terdapat beberapa anak muda nan tetap dianggap terlalu mini oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun menolaknya. Mereka sedih dengan penolakan tersebut, tetapi mereka tetap berlomba-lomba agar diizinkan dan diberi kesempatan untuk berasosiasi dalam jihad.
Hal ini merupakan pengaruh dari didikan (tarbiyah) islamiyah pada diri mereka ketika itu. Mendidik mereka dengan baik merupakan pekerjaan nan mulia, mengingat para pemuda adalah tiang umat dan kemajuan Islam ada pada mereka. Para pemuda kudu mendapatkan didikan dan pengarahan nan baik dan benar.
Ketujuh: Sabda Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapa di antara kalian nan dapat menunjukkan jalan terdekat” dan perjalanan mereka nan melintasi kebun seorang munafik nan berjulukan Murabba’ bin Qaizhi, menunjukkan kemaslahatan umum kudu didahulukan atas kemaslahatan pribadi. Kemaslahatan tentara muslimin dalam memotong jalan didahulukan atas kemaslahatan kebun orang tersebut. Ibnul Qayyim rahimahullah berbicara tentang perihal ini bahwa dibolehkan menggunakan jalan milik orang lain bagi pemimpin dan pasukannya sekalipun pemimpinnya tidak rela selama perihal tersebut diperlukan.
Referensi:
Fiqh As-Sirah. Cetakan kesepuluh, tahun 1437 H. Prof. Dr. Zaid bin ‘Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.
Sumber : rumaysho