Anjuran Membuatkan Makanan untuk Keluarga yang Ditinggal Mati

Sedang Trending 8 bulan yang lalu

Dari sahabat Abdullah bin Ja’far radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ

“Buatkanlah makanan untuk family Ja’far! Sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara nan menyibukkan mereka.” (HR. Abu Dawud no. 3132, Tirmidzi no. 998, Ibnu Majah no. 1610, Ahmad 3: 280, dinilai hasan oleh Al-Albani)

Penjelasan teks hadis

Sahabat Ja’far nan dimaksud dalam sabda ini adalah Ja’far bin Abu Thalib, kerabat laki-laki dari sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma. Istri beliau adalah Asma’ binti Umais. Beliau (Ja’far) terbunuh meninggal syahid beliau berumur empat puluh satu tahun.

Kalimat (perintah), “Buatkanlah makanan untuk family Ja’far!” ditujukan kepada family Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ditujukan pula untuk kerabat Ja’far, tetangga beliau, dan semacamnya, agar mereka membuatkan makanan untuk family Ja’far. Yang dimaksud dengan “keluarga Ja’far” di sini adalah istri beliau (Asma’ binti Umais) dan juga anak-anaknya.

“Telah datang kepada mereka perkara nan menyibukkan mereka”, maksudnya adalah mereka tertimpa musibah nan kemudian membikin mereka tidak sempat alias tidak terpikir untuk membikin makanan nan merupakan kebutuhan primer sehari-hari.

Kandungan hadis

Hadis ini merupakan dalil dianjurkannya menghidangkan alias membuatkan makanan untuk family nan ditinggal meninggal pada hari terjadinya musibah tersebut. Hal ini lantaran kasih sayang kita kepada mereka dan juga lantaran memperhatikan kondisi mereka nan baru saja tertimpa musibah. Ini termasuk dalam kebaikan-kebaikan nan diajarkan oleh kepercayaan Islam untuk memperkuat hubungan persaudaraan di antara kaum muslimin, dan disyariatkannya gotong royong ketika ada kerabat nan sedang tertimpa musibah.

Di dalam sabda ini, tidak disebutkan lama waktu membuatkan makanan. Sebagian ustadz mengatakan bahwa lamanya adalah sehari semalam. Hal ini lantaran dalam sebagian besar kondisi, kesedihan nan bisa membikin seseorang tidak terpikir untuk membikin makanan dan minuman itu tidak bakal berjalan sampai lebih dari sehari. Sebagian ustadz mengatakan tiga hari, sebagaimana nan tercantum dalam kitab-kitab fikih ajaran Hambali dan selainnya, juga lantaran memandang bahwa tiga hari itu adalah masa duka cita.

Tidak boleh berlebih-lebihan di dalam membuatkan makanan, sebagaimana nan dilakukan oleh sebagian kaum muslimin. Hal ini lantaran berlebih-lebihan itu termasuk perbuatan nan dilarang oleh syariat. Hendaknya kita membuatkan makanan sesuai dengan kebutuhan mereka. Diperbolehkan untuk orang-orang nan mengunjungi family nan ditinggal meninggal tersebut untuk ikut makan, lantaran makanan itu memang dibuatkan untuk family si mayit, bukan mereka buat (siapkan) sendiri.

Hukum membuatkan makanan untuk family si mayit

Zahir dari perkataan ustadz menunjukkan bahwa norma membuatkan makanan untuk family si mayit adalah sunah secara mutlak. Sebagian ustadz mengatakan bahwa hukumnya bukan sunah secara mutlak, bakal tetapi sunah bagi mereka nan memang betul-betul tidak sempat untuk membikin makanan sehari-hari. Hal ini sebagaimana perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ

“Sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara nan menyibukkan mereka.”

Sehingga jika kondisi family si mayit itu mempunyai makanan nan cukup, apalagi berlimpah, maka zahir sabda ini menunjukkan bahwa perihal itu (membuatkan makanan untuk family si mayit) menjadi tidak dianjurkan.

Syekh Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Pendapat ini adalah pendapat nan kuat, menurut pandanganku, terlebih lagi jika memandang kejadian berlebih-lebihan dalam membikin makanan.” (Minhatul ‘Allam, 4: 378)

Bagaimana jika family si mayit nan justru membuatkan makanan?

Makna sebaliknya dari sabda ini adalah bahwa family si mayit tidak boleh membuatkan makanan untuk orang-orang, lantaran perbuatan ini menyelisihi sunah, dengan beberapa akibat negatif sebagai berikut:

Pertama, perbuatan tersebut menyelisihi sunah. Karena nan dianjurkan oleh hukum adalah masyarakatlah nan bergotong royong membantu family nan sedang tertimpa musibah ini, bukan sebaliknya.

Kedua, perbuatan tersebut bisa mengantarkan kepada perkara nan dilarang oleh para ulama, ialah manusia berkumpul di rumah family si mayit. Sahabat Jarir bin ‘Abdullah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنْ النِّيَاحَةِ

“Kami berpandangan bahwa berkumpul-kumpul di family mayit dan membikin makanan adalah bagian dari Niyahah (ratapan).” (HR. Ibnu Majah no. 1612, dinilai sahih oleh Al-Albani)

Ketiga, perbuatan tersebut adalah membelanjakan kekayaan tidak pada tempatnya, sehingga termasuk dalam perbuatan royal dan berlebih-lebihan. Apalagi jika perihal itu diambil dari kekayaan peninggalan si mayit nan semestinya untuk mahir waris nan miskin dan kekurangan.

Keempat, perbuatan ini menyebabkan beban nan berlebih kepada family si mayit, padahal mereka sedang tertimpa musibah dengan meninggalnya personil family mereka. Perbuatan ini tentu saja tidak bakal diizinkan oleh hukum dan tidak bakal diterima oleh logika sehat. Wallahu ta’ala a’lam.

Baca Juga: Hukum Meratapi Mayit

***

@Rumah Kasongan, 12 Sya’ban 1444/ 4 Maret 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:
Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (4: 376-379).

Selengkapnya
Sumber Muslim.or.id
Muslim.or.id
Atas