Abu Sa’id Al-Khudri: Mufti Madinah dan Ahli Fikih Para Sahabat

Sedang Trending 7 bulan yang lalu

Jika langit malam kelap-kelip dengan adanya bintang-bintang, maka umat ini terang benderang dengan adanya para ustadz nan mengajari pengetahuan dan memberi teladan. Dan ini adalah kisah salah satu dari mereka. Ia masyhur sebagai mahir fikih paling muda di kalangan para sahabat Nabi. Ia juga merupakan sahabat nan paling utama dari kalangan Ansar. Termasuk salah satu sahabat nan meriwayatkan sabda dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling banyak. Terhitung sebagai ahli suffah. Ia dikenal hidup fakir, namun kaya dengan perbendaharaan ilmu. Ia adalah Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu.

Nama dan kunyahnya

Nama beliau

Ulama berbeda pendapat terkait nama original Abu Sa’id Al-Khudri. Di antara perkataan mereka tentang nama beliau adalah:

Pertama: Beliau berjulukan Sa’ad bin Malik bin Sinan bin Tsa’labah bin Ubaid bin Al-Abjar Abu Sa’id Al-Khudri. [1]

Kedua: Beliau berjulukan Sinan. Ibnu Hisyam di dalam Sirah-nya mengatakan, “Nama Abu Sa’id Al-Khudri adalah Sinan.” [2]

Namun, nama beliau nan masyhur di kalangan ustadz adalah Sa’ad.

Kunyah beliau

Abu Sa’id Al-Khudri Al-Anshari termasuk keturunan suku Al-Khazraj. Mereka disebut Bani Khudrah alias Balkhudrah. Ada juga nan menyebut mereka Banu Al-Abjar. Dan nan dimaksud Al-Abjar adalah ‘Udzrah bin ‘Auf bin Al-Harits bin Al-Khazraj. [3]

Keluarga besarnya

Ayah beliau

Ayah Abu Sa’id Al-Khudri berjulukan Malik bin Sinan bin Ubayd bin Tsa’labah Al-Anshari. Malik bin Sinan termasuk sahabat Nabi nan mengikuti perang Uhud. Dan termasuk jejeran sahabat nan meninggal syahid di pertempuran tersebut.

Penyebutan nama Malik bin Sinan secara  unik dalam kitab-kitab sejarah Islam tidaklah ditemukan, selain dalam dua peristiwa. Yakni, syahidnya beliau dalam perang Uhud dan tatkala beliau menghisap darah dari wajah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Abu Sa’id Al-Khudri berkata, “Wajah Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam terluka, maka Malik bin Sinan menghadap ke arah beliau dan menghisap darah dari wajahnya, kemudian menelannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, ‘Siapa saja nan senang memandang seseorang nan darahnya bercampur dengan darahku, maka hendaklah dia memandang Malik bin Sinan.’” [4]

Pada riwayat Ibnu Ishaq di dalam kitab Sirah-nya, Nabi bersabda, “Siapa pun nan darahnya bercampur dengan darahku, maka neraka tidak bakal menyentuhnya.” [5]

Ibu beliau

Ibu Abu Sa’id Al-Khudri berjulukan Anisah binti Abi Haritsah dari Bani Adi bin An-Najjaar. Hal ini sebagaimana nan disebutkan oleh Ibnu Hubaib kepada orang-orang nan membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. [6]

Saudara-saudara beliau

Ahli sejarah mencatatkan beberapa kerabat Abu Sa’id, di antaranya:

Pertama: Qatadah bin An-Nu’man, kerabat seibu.

Kedua: Fari’ah binti Malik, kerabat seayah dan seibu.

Ketiga: Zainab, saudarinya nan lain.

Anak-anak beliau

Abu Sa’id dikaruniai beberapa anak dari pernikahannya dengan istrinya, Zainab. Di antaranya:

Pertama: Abdurrahman

Kedua: Abdullah

Ketiga: Hamzah

Keempat: Sa’id

Kelima: Basyir

Ahli sejarah juga menuliskan beberapa cucu beliau, di antaranya:

Pertama: Rubaih bin Abdirrahman bin Abu Sa’id

Kedua: Abdullah bin Abdullah bin Abu Sa’id

Baca juga: Biografi Ringkas Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin

Kelahirannya

Tidak ada kitab sejarah nan menuliskan secara pasti tahun kelahiran tokoh ini. Namun, berasas beberapa catatan peristiwa, kita dapat menetapkan tahun kelahiran beliau dengan jalan berikut:

Catatan sejarah menunjukkan bahwa Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dianggap tetap mini saat terjadi perang Uhud, sehingga beliau ditolak oleh Nabi untuk diikutkan dalam pertempuran tersebut. Disebutkan bahwa umur beliau waktu itu baru 13 tahun. Sementara, perang Uhud terjadi pada bulan Syawal tahun 3 Hijriah. Oleh lantaran itu, dapat diambil konklusi beliau lahir sekitar 10 tahun sebelum hijriah.

Ciri-cirinya

Beberapa karakter bentuk Abu Sa’id Al-Khudri nan disebutkan dalam kitab sejarah sebagai berikut:

Pertama: Abu Sa’id tidaklah bercukur, di mana jenggotnya berwarna putih lebat.

Kedua: Dari Wahab bin Kisan, dia berkata, “Aku memandang Abu Sa’id memakai sutra.”

Ketiga: Dari Usman bin Ubaidillah bin Abi Rafi’, dia berkata, “Aku memandang Abu Sa’id menipiskan kumisnya sebagaimana saudaraku Al-Haliq.”

Akhlaknya

Abu Sa’id Al-Khudri berdandan dengan adab Islam nan mulia sebagai buah dari keagamaan nan tertancap kuat di dalam hati beliau. Di antara adab beliau nan paling menonjol adalah:

Sabar dan menjaga kehormatan diri

Abu Sai’d Al-Khudri adalah salah satu sahabat nan ditempa secara langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan hikmah dan anutan sehingga menjadikan dirinya seorang pribadi muslim nan sejati. Di antara sifat terpuji nan dia miliki adalah dia senantiasa melangkah di atas kesabaran ketika menghadapi kesempitan dan ujian hidup.

Dikisahkan, ketika ayahnya meninggal dalam perang Uhud, dia kemudian mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta-minta. Namun, Nabi malah kembali memberikan nasihat menggugah untuk mendidiknya, hingga petuah itu meresap kuat ke dalam sanubarinya.

Abu Sa’id Al-Khudri menceritakan kisah tersebut dari jalur  Utaibah, anaknya sendiri, di mana Abu Sa’id berkata, “Ayahku meninggal pada perang Uhud sebagai syahid, dan tidak meninggalkan kekayaan untuk kami sepeser pun. Maka, saya pun mendatangi Rasulullah dan meminta (harta) padanya. Maka, tatkala melihatku, beliau bersabda,

من استغنى أغناه الله، ومن يستعفف يعفه الله

“Barangsiapa nan merasa cukup (tidak meminta-minta), maka Allah bakal mencukupi (kebutuhan)nya. Barangsiapa nan menjaga diri (dari nan haram), maka Allah bakal menjaganya.” Maka, saya (Abu Sa’id -pen) pun kembali (tanpa membawa apa-apa).

Hadis tersebut juga terdapat di dalam Ash-Shahihain dari jalur Ata’ bin Yazid dari Abu Sa’id Al-Khudri dengan cerita dan lafaz berbeda, ialah “Bahwa orang-orang Ansar meminta-minta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak seorang pun nan meminta kepada beliau selain diberi, hingga ludes apa nan beliau punya untuk diinfakkan kepada mereka. Beliau kemudian berbicara kepada mereka,

ما يكن عندي من خير لا أدخره عنكم وإنه من يستعف يعفه الله ومن يتصبر يصبره الله ومن يستغن يغنه الله ولن تعطوا عطاء خيرا وأوسع من الصبر

“Kebaikan (harta) di sisiku tidaklah tersisa, selain telah saya berikan kepada kalian. Barangsiapa nan menjaga diri (dari nan haram), maka Allah bakal menjaganya. Dan siapa saja nan bersabar, maka Allah bakal menjadikannya orang nan sabar. Begitu pula, barangsiapa nan merasa cukup (dari manusia), maka Allah bakal memberikan kecukupan kepadanya. Pemberian (dari Allah) tidak ada nan lebih baik dan lebih lapang bagi manusia selain kesabaran.” [7]

Selain itu, meskipun beliau dari kalangan Ansar, beliau sering berbaur dengan ahli suffah dan juga dikenal sebagai ahli suffah. Beberapa sahabat, meskipun hidup cukup, mereka memilih hidup zuhud dan sabar. Di antaranya dengan banyak berinteraksi dengan ahli suffah. Bahkan, beberapa ustadz terkenal dari kalangan sahabat selain Abu Sa’id tinggal di samping Masjid Nabawi sebagai ahli suffah, semisal  Abu Hurairah dan Abdullah bin Mas’ud. [8]

Abu Nu’aim Al-Ashbahani berbicara tentangnya, “Keadaannya dekat dengan keadaan ahli suffah. Meskipun dia adalah seorang Ansar nan mempunyai rumah, namun dia lebih menyukai hidup dengan ahli suffah untuk meraih sabar, dan memilih berdiam sebagai ahli suffah untuk hidup fakir dan memelihara diri dari segala nan tidak baik.” [9]

Keberanian dan kepahlawanan

Di antara sifat nan juga dimiliki oleh Abu Sa’id Al-Khudri adalah keberaniannya dalam memihak kebenaran, gimana pun keadaannya. Kisah beliau nan berangkaian dengan perihal ini, semisal:

Pertama: Beliau diketahui sebagai salah satu sahabat nan membaiat Nabi di bawah pohon, nan dikenal sebagai Bai’atur Ridwan. Seperti telah masyhur diceritakan, bahwa pada saat itu, kondisi kaum muslimin nan awalnya beriktikad berhaji cukup mencekam. Di mana Usman nan diutus oleh Nabi untuk bernegoisasi dengan kaum Quraisy, tidak juga kembali dalam beberapa hari. Sampai kemudian terdengar buletin jika dia terbunuh. Maka, Nabi pun mengambil ba’iat dari para sahabat untuk berjanji setia dan tidak bakal pergi, jika semisal mereka kudu berperang. Hal ini menunjukkan loyalitas dan keberanian para sahabat, meskipun jumlah mereka sedikit. Sampai-sampai Allah pun mengabadikan kisah mereka dalam Al-Qur’an nan mulia. Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ رَضِیَ اللّهُ عَنِ المؤمِنِینَ اِذْ یُبَایِعُونَکَ تَحتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِی قُلوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّکِیْنَةَ عَلَیْهِمْ وَ اَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِیْبًا

“Sungguh Allah telah meridai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon. Dia mengetahui apa nan ada dalam hati mereka. Lalu, Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi jawaban dengan kemenangan nan dekat.” (Q.S. Al-Fath: 18)

Kedua: Semangat beliau untuk berjihad berbareng Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, apalagi sejak beliau tetap kecil, sebagaimana nan bakal dikisahkan nantinya. Disebutkan dalam kitab sejarah, bahwa beliau mengikuti 13 peperangan berbareng kaum muslimin, baik nan diikuti oleh Nabi secara langsung (Gazwah) maupun nan bentuknya ekspedisi (pengiriman satuan militer atas perintah Nabi), di antaranya:

Pertama: Perang (Gazwah) Bani Mustaliq

Kedua: Perang (Gazwah) Khandaq

Ketiga: Perang (Gazwah) Bani Quraidzah

Keempat: Perang (Gazwah) Hudaybiah

Kelima: Ekspedisi (Syariyyah) Basyir bin Sa’ad ke Fadak

Keenam: Ekspedisi (Syariyyah) Al-Qamah bin Mujazzaz

Ketujuh: Perang (Gazwah) Mu’tah

Kedelapan: Ekspedisi (Syariyyah) Abdurrahman bin ‘Auf ke Dumah Al-Jandal

Kesembilan: Perang Fathul Makkah

Kesepuluh: Perang (Gazwah) Hunain

Kesebelas: Perang (Gazwah) Tabuk

Kedua belas: Perang (Gazwah) Ukaydir di Dumah Al-Jandul

Ketiga belas: Ekspedisi (Syariyyah) Ali bin Abi Thalib ke Yaman

Ketiga: Beliau pernah memberikan nasihat secara berani kepada Marwan bin Al-Hakam bin Abil ‘Ash tatkala dia menjadi orang pertama nan membikin bid’ah berupa melakukan khotbah sebelum salat Id. Padahal Marwan pada saat itu tengah menjabat sebagai khalifah Bani Umayah di Syam.

Peristiwa tersebut disampaikan di antaranya melalui jalur Thariq bin Syihab, di mana dia berkata, “Orang pertama nan memulai khotbah Id sebelum salat adalah Marwan. Maka, ada seseorang berdiri dan berujar kepadanya, “Salat (Id) itu semestinya didahulukan sebelum khotbah.” Marwan menimpali, “Hal tersebut sudah ditinggalkan.” Maka Abu Sa’id berkata, “Adapun orang ini telah menunaikan apa nan seharusnya. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَ ذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ

“Barangsiapa nan memandang kemungkaran, hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan Jika tidak bisa juga, maka dengan hatinya. Dan nan demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.” [10]

Keempat: Mengutamakan orang lain

Abu Sa’id Al-Khudri juga dikenal dengan sifat itsar alias mendahulukan orang lain dibanding diri sendiri. Sebagian orang nan menulis biografinya mensifatinya demikian dengan berkata, “Ia seorang nan mendahulukan orang-orang fakir.” [11]

Maka itsar ini merupakan kebiasaan baik dan adab nan mulia yang para sahabat dipuji oleh Allah dengan berfirman,

وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

“dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (QS. Al-Hasyr ayat 9).

Hingga jadilah para sahabat itu sebagai generasi Qur’ani nan tiada taranya. Generasi salaf nan diteladani dalam adab mulia. Dan satu di antara mereka adalah Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu.

Baca juga: Sejarah Hidup Imam Al Ghazali

Keislamannya

Kitab-kitab sejarah juga tidak menyebut cerita dan awal mula keislaman Abu Sa’id Al-Khudri radhiyyalahu ‘anhu. Namun, nampak bahwa beliau termasuk masyarakat Madinah nan pertama-tama memeluk kepercayaan Islam. Hal ini terlihat jelas pada sikap pemuda terdidik ini. Bagaimana dia mendudukkan Islam dalam dirinya. Begitu juga kedalaman ketaatan di dalam dirinya. Sehingga mendorong dirinya untuk ikut berjihad pada perang uhud berbareng Nabi. Padahal umurnya pada waktu itu tetap 13 tahun. Namun, usia belia tidak menghalangi niatnya untuk turut serta dalam pertempuran besar tersebut.

Berniat ikut perang Uhud

Pada saat perang Uhud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyeleksi sahabat nan bakal berangkat berjihad, di antaranya berasas usia. Sekelompok sahabat nan tetap remaja ditolak oleh beliau dan tidak diizinkan menyandang senjata di hari itu. Satu di antara sahabat muda tersebut adalah Abu Sa’id Al-Khudri. Pada saat itu, Abu Sa’id tetap berumur 13 tahun.

Kisah penolakan dan pemulangan Abu Sa’id Al-Khudri, diceritakan sendiri olehnya, di mana dia berkata, “Aku mengusulkan diri untuk ikut perang Uhud pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara usiaku tetap 13 tahun. Ayahku pun menggenggam tanganku seraya berkata, ‘Ya Rasulullah, anak ini mempunyai tulang nan sangat besar.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengamatiku dari atas ke bawah kemudian membenarkan ayahku. Namun, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian memerintahkan ayahku sembari bersabda, ‘Kembalikan anak itu.’ Maka, ayahku pun memulangkanku.” [12]

Zaid bin Haritsah Al-Anshari radiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganggap mini dan menolak sejumlah orang pada peristiwa perang Uhud. Di antaranya Zaid bin Haritsah,  Al-Bara’ bin ‘Azib, Sa’ad bin Khaitsamah, Abu Sa’id Al-Khudri, dan Jabir bin Abdillah. [13]

Guru-gurunya

Berdasarkan riwayat-riwayat Abu Sa’id Al-Khudri dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meskipun sebagian besar dia berasal dari Nabi secara marfu’, beliau juga meriwayatkan sabda dari sahabat nan lain. Oleh lantaran itu, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani menuliskan, “Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan sabda dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Zaid bin Tsabit, Abu Qatadah Al-Ansari, Abdullah bin Salam, Usaid bin Hudhair, Ibnu Abbas, Abu Musa Al-Asy’ari, Mu’awiyah, dan Jabir bin Abdillah.” [14]

Murid-muridnya

Murid-Muridnya dari golongan sahabat

Di antara sahabat nan meriwayatkan sabda dari Abu Sa’id Al-Khudri adalah[15]:

Pertama: Ibnu Umar

Kedua: Jabir

Ketiga: Anas

Keempat: Istrinya (Zainab binti Ka’ab)

Kelima: Ibnu Abbas

Keenam: Zaid bin Tsabit

Ketujuh: Mahmud bin Lubayd

Murid-muridnya dari golongan tabi’in

Adapun tabi’in nan meriwayatkan sabda darinya adalah:

Abdurrahman (anaknya), Abu Umamah bin Sahl, Said bin Al-Musayyab, Thariq ibnu Syihab, Abu At-Tufail, Ata’ bin Abi Rabah, Ata’ bin Yasar, Ata’ bin Yazid, ‘Iyad bin Abdullah bin Abi As-Sarh, Al-Agar bin Muslim, Bisyr bin Sa’id, Abu Al-Wadak, Hafs bin Ashim, Humaid bin Abdurrahman bin ‘Auf, saudaranya (Abu Salamah bin Abdurrahman), Raja’ bin Rabiah, Adh-Dhahaq Asy-Syirqi, ‘Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Khabbab, Sa’id bin Al-Harits Al-Anshari, Abdullah bin Muhairiz,  Abdullah bin Abi ‘Utbah (pelayan Anas), Abdurrahman bin Abi Ni’m, Ubaid bin Umair, Uqbah bin Abdil Faiz, Iqrimah, ‘Amr bin Salim, Quz’ah bin Yahya, Muhammad bin Sirin, Nafi’ pelayan Ibnu Umar,  Yahya bin Imarah bin Abi Hasan, Mujahid, Abu Ja’far Al-Baqir, Abu Sa’id Al-Maqbiri, Abu Abdurrahman Al-Habli, Abu Utsman An-Nahdi, Abu Syu’ban pelayan Abu Ahmad, Abu Shalih As-Siman, Abu Al-Mutawakkul An-Naji, Abu Nadrah Al-Ubaid, Abu Al-Qamah Al-Hasyimi, Abu Harun Al-Abdi, dan selainnya. [16]

Pujian ustadz terhadapnya

Di antara pujian ustadz terhadap Abu Sa’id Al-Khudri:

Pertama: Diriwayatkan dari Hanzalah bin Abi Sufyan, dari ayahnya, dia berkata, “Tidak ada seorang pun dari sahabat Rasulullah nan paling muda nan lebih berilmu dibanding Abu Sa’id Al-Khudri.” [17]

Kedua: Al-Imam Abu Bakr Al-Khatib berkata, “Abu Sa’id adalah orang Ansar nan paling utama. Ia menghafal sabda nan sangat banyak dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” [18]

Ketiga: Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Abu Sa’id Al-Khudri adalah salah satu mahir fikih dari kalangan sahabat, dan nan paling mulia serta paling pandai di antara mereka.” [19]

Keempat: Al-‘Amiri berkata, “Abu Sa’id Al-Khudri adalah salah satu di antara sahabat nan masyhur, nan paling utama, paling banyak riwayatnya. Dan dia terhitung sebagai mahir suffah. Suka mengutamakan orang-orang fakir. Dikaruniai kesabaran. Seorang faqih. Serta seorang nan mulia dan terhormat.” [20]

Baca juga: Imam Syafi’i Sang Pembela Sunnah dan Hadits Nabi

Riwayat sabda darinya

Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan sabda sebanyak 1170 buah hadis, dan termasuk urutan ketujuh sahabat periwayat sabda terbanyak setelah Abu Hurairah (5374 hadis), Abdullah bin Umar (2630 hadis), Anas bin Malik (lebih dari 2286 hadis), Aisyah (2210 hadis), Abdullah bin Abbas (1660 hadis), dan Jabir bin Abdillah (1540 hadis) radhiyallahu ‘anhum ajma’in. [21]

Abu Sa’id Al-Khudri termasuk sahabat nan mempunyai ingatan nan sangat kuat. Ia sama sekali tidak menuliskan hadis-hadis di dalam kitab, namun dia menghafalkan keseluruhan sabda nan dia riwayatkan. Tentang perihal ini, dia pernah berbicara kepada muridnya, “Janganlah engkau tulis hadis-hadis, dan jangan engkau jadikan dia sebagaimana Al-Qur’an (ditulis -pen). Akan tetapi, hafallah dariku sebagaimana saya menghafalnya.” Di kesempatan lain dia berkata, “Ambillah hadis-hadis sebagaimana saya mengambilnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” [22]

Abu Sa’id Al-Khudri jugalah nan meriwayatkan sabda larangan Nabi untuk tidak menuliskan selain Al-Qur’an. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Janganlah kalian tulis dariku, selain Al-Qur’an. Dan siapa pun nan menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an, maka hendaklah dia menghapusnya.” [23]

Salah satu mufti dari kalangan sahabat

Pakar sejarah menyebut Abu Sa’id Al-Khudri sebagai salah satu sahabat nan biasa berfatwa. Maka, tentang ini Ziyad bin Mina berkata, “Adalah Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Sa’id Al-Khudri, Abu Hurairah, Jabir bin Abdillah, dan sahabat Rasulullah lain nan serupa dengan mereka, berfatwa di Madinah. Maka, mereka mengambil sabda dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sejak wafatnya Usman radhiyallahu ‘anhu hingga wafatnya diri mereka masing-masing.” [24]

Nasihatnya

Berikut adalah salah satu nasihat beliau, “Wajib bagimu bertakwa kepada Allah. Karena takwa adalah pemimpin setiap hal. Wajib pula atasmu untuk berjihad. Karena dia adalah kerahiban dalam Islam. Demikian juga, patut bagimu berzikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an. Karena dia mengharumkanmu pada masyarakat langit dan menyebutmu di tengah-tengah masyarakat bumi. Wajib juga bagimu untuk diam, selain dalam rangka menyampaikan kebenaran. Maka engkau pun bakal mengalahkan setan.” [25]

Wasiatnya

Sebelum meninggal, Abu Sa’id Al-Khudri memberikan wasiat kepada Abdurrahman, anaknya, di mana dia berkata, “Ayahku berbicara padaku, ‘Aku semakin tua. Para sahabat dan kawananku telah pergi (wafat). Tolong, peganglah tanganku.’ Ayahku kemudian bertelekan kepadaku hingga tiba di tepi pemakaman Baqi, bagian nan belum ada kuburannya. Beliau kemudian berkata, ‘Wahai anakku, jika kelak saya mati, maka kuburkanlah saya di sini. Jangan buatkan saya tenda besar, dan jangan pula engkau iringi saya dengan api. Jangan pula tangisi saya dengan ratapan. Jangan engkau kabarkan manusia tentang kematianku. Ringankanlah dan segerakanlah.’ Ayahku kemudian wafat pada hari Jumat. Aku pun tidak suka menunjukkan manusia sebagaimana dia melarangku. Namun, mereka datang kepadaku dan bertanya, ‘Kapan engkau mengeluarkan (jenazah)nya?’ Aku pun menjawab, ‘Setelah saya siapkan, baru saya keluarkan.’ Maka, manusia pun memenuhi pekuburan Baqi bersamaku.” [26]

Wafatnya

Setelah menjalani kehidupan dan umur nan terbilang cukup panjang, dia telah sukses mengumpulkan beragam kebaikan dan keutamaan. Baik berupa ilmu, amal, adab nan mulia, sikap zuhud, dan jihad fii sabilillah. Abu Sa’id Al-Khudri pada akhirnya berpulang ke sisi Rabbnya ‘Azza Wajalla di Madinah. Kota tempat dia lahir, tumbuh, dan berjuang berbareng Nabi dan para sahabat nan mulia radhiyallahu ‘anhum ajma’in.

Ulama berbeda pendapat terkait tahun wafat Abu Sa’id Al-Khudri. Di antara perkataan mereka tentang waktu kematiannya sebagai berikut:

Pertama: Beliau wafat pada tahun 74 Hijriah. Ini pendapat Al-Wakidi, Ibnu Numair, dan Ibnu Bakir. [27]

Kedua: Beliau wafat pada tahun 64 Hijriah. Ini perkataan Ali Al-Madini. [28]

Ketiga: Beliau wafat pada tahun 63 Hijriah. Ini perkataan lain dari Ali Al-Madini dan Ibnu Hibban. [29]

Keempat: Beliau wafat pada tahun 65 Hijriah. Ini pendapat Al-Askari. [30]

Abu Sa’id Al-Khudri dikuburkan di pemakaman Baqi sebagaimana nan dia wasiatkan kepada anaknya, Abdurrahman. Sebelumnya, dia menginginkan pemakaman nan sederhana. Sampai kemudian manusia di Madinah mengetahui buletin kematiannya. Mereka pun beramai-ramai menghadiri penguburan jenazahnya, sehingga pekuburan Baqi pun tumpah ruah dan penuh dengan manusia. Semua itu sebagai corak penghormatan mereka terhadap Abu Sa’id Al-Khudri nan mereka kenal telah menjadi Mufti di Madinah dalam waktu nan cukup panjang. Begitu juga kisah kepahlawanan, kesahajaan, kesabaran, dan teguhnya beliau dalam memberikan nasihat, serta beramar makruf nahi mungkar kepada manusia. Semoga Allah mengumpulkan kita bersamanya, dan seluruh sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in di surga-Nya kelak, tempat nan penuh kenikmatan nan abadi.

Baca juga: Mengenal Imam Bukhari

***

Penulis: Sudarmono Ahmad Tahir, S.Si., M.Biotech.

Artikel: Muslim.or.id

Sumber referensi dan terjemah:

Muhammad Abdullah Abu Su’aylik. 1999. Abu Sa’id Al-Khudri Shahibu Rasulillahi wa Mufti Al-Madinah fii Zamaanihi. Riyadh. Huquq At-Thaba’ Mahfuzah.

Catatan kaki:

[1]     Al-Mu’jam Al-Kabir 6/33, Al-Ishabah 2/33, Sirah Ibnu Hisyam 3/178, Thabaqat Khalifah hal. 96

[2]     Sirah Ibnu Hisyam 3/178.

[3]     Jamharah Ansab Al-Arab hal. 362 dan Al-Ishabah 2/32.

[4]     Al-Mu’jam Al-Kabir no. 5430, Ibnu Sakkan dan Sa’id Mansur sebagaimana dalam Al-Ishabah 3/320, Al-Maghazy karya Al-Waakidi 1/247.

[5]     Sirah Ibnu Hisyam 3/116, di mana sanadnya Munqati’. Juga terdapat dalam Al-Maghazhi karya Al-Waakidi 1/247.

[6]    Al-Majar: 429 dan Al-Ishabah 4/238.

[7]     Al-Jami’ Ash-Shahih, Kitab Ar-Riqaq nomor 6470.

[8]    Ahlus Suffah. Asy-Syaikh Shalih Najib Ad-Daq.

[9]    Al-Hilyah 1/369-370.

[10]   HR. Muslim 2/21-24.

[11]    Ar-Riyaadh Al-Mustathaabah perihal 100.

[12]   Siyar Alam Nubala, 3/169, Tahdzib Ibnu Asaakir 6/113, dan Al-Mustadrak 3/563.

[13]    Mu’jam Al-Kabir, nomor 5150.

[14]   Tahdzib At-Tahdzib 3/416.

[15]    Siyar Alam Nubala 3/169 dan At-Tahdzib 3/416.

[16]   At-Tahdzib 3/316-317.

[17]   Thabaqat Ibnu Sa’ad, 2/374.

[18]   Tarikh Bagdad, 1/180

[19]   Tahdzib Al-Asma, 2/237.

[20]  Ar-Riyad Al-Mustathabah, hal. 100.

[21]   Aktsaru Ash-Shahabah Riwayah lilhadits. Mahmud Dawus Dasuqi  Khattabi.

[22]   Al-Mustadrak 3/564, Jami’ Bayan Al-‘Ilmi 1/76-77, dan Taqyid Al-Ilm laman 36.

[23]   HR. Muslim hal. 229.

[24]   Thabaqat Al-Fuqaha, karya Asy-Syirasyi hal. 33.

[25]   Siyar A’lam Nubala 3/170.

[26]   Al-Mustadrak, 3/564.

[27]   Tahdzib At-Tahdzib 3/417.

[28]   Siyar Alam Nubala 3/171 dan At-Tarikh Al-Kabir 4/44.

[29]   Masyahir Ulama Al-Amshar perihal 11 dan At-Tsiqat 3/150.

[30]   Tahdzib At-Tahdzib 3/417.

Selengkapnya
Sumber Muslim.or.id
Muslim.or.id
Atas